Senin, 14 September 2015

Chapter 10 - Naqoyqatsi

THE CROWS
by Reza Pratama Nugraha

Ayahku adalah orang yang baik, aku percaya itu. Aku ingat tatapannya yang sambil tersenyum kepadaku setelah memotong kayu bakar dihutan, memanggilku dengan cerianya.

“Xiao Lin sayang..”

Tatapan itu adalah tatapan kasih sayang, dan aku mengerti benar bahwa tatapan tersebut tidak akan memilih jalur yang melenceng selain menikmati hidup bersama keluarganya. Dia telah meninggalkan perang yang ia bangga-banggakan setelah aku lahir. Di meja makan dia selalu bersyukur akan kondisinya walau hidup dalam kesederhanaan bersama anak gadisnya yang manis serta istrinya yang cantik dan baik hati.

Ayah dituduh sebagai pemberontak bersama dengan saudara-saudaranya. Aku tidak tahu dari mana dasarnya, tentara Lushan yang agung tanpa alasan yang jelas memasuki desa dan memberikan pengumuman untuk menyerahkan seluruh keluarga dengan keturunan suku bar-bar, dan aku berusaha berkata bahwa ayahku mengidolakan Lushan. Aku ingat bahwa ayah selalu berkata :

“Lushan yang agung adalah pembebas masyarakat, dengan kekuasaan di tangan rakyat, kesetaraan yang dijunjung tinggi, dan tidak ada ketakutan atas penguasa yang lazim!”

Dia berkata demikian sambil menaikan dagunya dan tangannya yang ia genggam dan dijunjung kelangit dengan rasa bangga atas calon raja yang tak pernah kalah dalam perangnya dan teguh atas pendiriannya.

Tapi mereka tidak percaya, dan kini rumah kami digedornya dengan kuat. Dalam ketakutan ibu memelukku. Ayah tak kunjung pulang, mungkin sudah seminggu dia pergi. Satu-satunya kata yang ia ucap sambil mengelus kepalaku adalah, “Jaga ibumu baik-baik”. Aku telah berjanji pada ayah bahwa aku akan melindungi ibu.

***

“Jika tidak dibuka juga akan kami dobrak!!”

Ibu berjongkok dibawah meja dengan taplak yang menutupi kami, dia menutupi telingaku erat-erat. Ketika kutengok, mukanya begitu ketakutan dan air keringat keluar begitu deras. Aku tahu dia menahan tangisnya. Saat itu nenek juga bersama kami sambil membaca doa. Ibu sudah memaksanya berhenti karena kita sedang bersembunyi, namun dia berkata jika saja dia berhenti berdoa, sakit jantungnya bisa kumat.

“1...2..3!!”

Suara begitu keras terdengar, ditemani oleh suara gemuruh kaki. Mungkin ada dua atau tiga orang saat itu. Mereka menendang kursi, mengobrak-abrik ruang tamu, sampai akhirnya suara langkah itu terdiam di depan meja kami. Sepertinya suara nenek terdengar saat itu.

“Keluar atau akan ada yang terluka..”

Ibu menghela nafasnya. Dia keluar dari taplak, namun menyuruh kami dengan aba-aba tangannya bahwa dia yang akan keluar sendiri. Aku mengintip sambil mencoba mendengar pembicaraan mereka. Aku harap dia tidak melukai ibu.

“Dimana Xiao Lun.”

“Kumohon, suamiku adalah pengikut setia Lushan yang agung. Dia pernah ikut dalam perang bunga teratai selama 50 hari penuh bersamanya. Dia memujanya sampai hari ini, bagaimana mungkin dia melakukan pemberontakan? Orang disebelahmu adalah sahabatnya di dalam perperangan, kau bisa bertanya padanya.”

Disana terdapat tentara dengan logo teratai simbol tentara Lushan, dan sahabat ayah. Ibu memohon minta tolong pada sahabat ayah, namun dia menggelengkan kepalanya.

“Maafkan aku Sie, titah raja baru adalah membersihkan ras bar-bar. Suamimu memiliki setengah darah dari ras bar-bar.”

“Kumohon..”

“DIAM!!”

Tentara tersebut menampar ibu sambil meneriakinya. Amarahku memuncak, tapi saat aku ingin keluar nenek memegangku sambil menunjukan jarinya didepan mulutnya, menyuruhku jangan berisik.

“Jika kau menyembunyikan suamimu, rumahmu akan kami bakar!”

“Lushan yang agung! Pemimpin yang akan membebaskan rakyatnya dari rasa takut dari raja yang zalim! Menjunjung kesetaraan! Kekuasaan di atas tangan rakyat!”

Ibu yang terjatuh setelah ditampar oleh tentara tersebut menggenggam tangannya dan menaikan tangannya ke langit. Dia mengucapkan pujaan rakyat terhadap Lushan yang agung seakan pemimpin pahlawan tersebut tidak mungkin akan melakukan tindakan keji seperti ini.

“Diam!!”

“HYAA!!”

Aku segera menabraknya, memanjat kakinya, dan menginggit tangannya. Tentara tersebut berteriak, dan dilemparkannya aku jauh-jauh hingga diriku terlempar.

“Anak sialan!”

Dia mendekatiku dan menendang perutku. Sangat sakit rasanya hingga perutku mual. Tendangan kedua mengarah pada kepalaku dan membuat kepalaku pusing, dan saat itu aku mulai memuntahkan isi perutku karena rasa sakit yang luar biasa pada perutku dari tendangan sebelumnya. Di antara muntahku terdapat darah, dan saat itu aku mulai ketakutan. Sampai tendangan ketiga, ibu memegang kakinya, meminta ampun, walau sekali lagi tendangan tersebut mengenai mukaku.

“Tolong jangan lukai anakku.. Dia anak laki-lakiku, jika kau bunuh dia, siapa yang akan menafkahi keluarga kami?”

Aku sebenarnya adalah seorang gadis, tapi ibu berusaha untuk menyamarkan bahwa diriku laki-laki. Ibu baru saja memotong rambutku pendek, dan memakaikan pakaian laki-laki padaku. 

Laki-laki tersebut menatapku, karena ruangan gelap, dia memegang daguku dan diperhatikannya baik-baik. Mukaku sudah babak belur saat itu, darah menyamarkan mukaku dari muntah yang menodai mukaku saat berguling ditendangnya.

“Suaranya seperti anak gadis. Hei, apa dia punya anak gadis?”

“Tidak..”

Sahabat ayahku berbicara sambil memalingkan wajahnya. Aku tahu dia berbohong, tapi tentara tersebut seperti percaya dengan ucapannya.

“Kutanya sekali lagi apakah suamimu ada disini?”

Ibu memeluk melindungiku, dia belum siap untuk menjawab dan lelaki tersebut sudah menyiapkan kakinya. Nenek tiba-tiba keluar, dan berteriak dengan ekspresi mengerikannya.

“Tidak ada, dia tidak ada disini! Mana mungkin juga dia bersembunyi disini membahayakan istri dan anaknya, apa kau tidak memakai otakmu!? Lalu bagaimana mungkin kau bisa menampar wanita dan menendang anak kecil seperti ini? Apa kau tak punya anak, istri? Apa kau tidak percaya dengan karma dari dewa?!”

Tentara tersebut terdiam. Dia mulai merasa kagok, dan menyuruh sahabat ayahku beserta tentara lainnya keluar.

“Jika aku mengetahui bahwa kalian menyembunyikannya, kami takkan segan-segan mengeksekusi kalian sebagai pembantu dalam pemberontakan.”

“Silahkan! Karena kami tidak akan melakukannya, kami bukan pemberontak!”

Nenek berteriak sambil mengusir tentara tersebut. 

Saat itu nenek segera panik mencari obatnya setelah melihatku, sedangkan ibu hanya menatapku diam. Dia menangis, tapi tatapanya penuh dengan amarah.

“Ibu? Ahh!”

Ibu menamparku, aku seketika kebingungan karena kupikir diriku telah melakukan hal yang benar.

“Dasar pemberontak, seperti ayahmu!”

“Ayah bukan pemberontak, dan ayah menyuruhku menjagamu!”

Aku kaget dengan ucapan ibu dan membalas teriakannya. Dia malah menamparku lagi, lagi, dan lagi. Dia menamparku sambil berteriak pemberontak padaku. Aku menangis tidak percaya, dan nenek hanya terdiam. Saat itu aku merasa terkhianati oleh ibuku sendiri.

***

“Maafkan aku Sie, tapi suamimu..”

“Oh tidak..oh dewa..”

Sudah tiga jam berlalu, ibu berbicara dengan sahabat ayah. Aku diam-diam menyelinap dari nenek yang tidur bersamaku, dia tidur setelah lelah dengan rasa marah dan takutnya. Saat itu aku mendengar samar-samar bahwa ayah tertangkap di dekat sungai, didalam gubuk bekas bersama saudara-saudaranya. Aku berdoa untuk Shizu’er temanku yang juga keturunan murni suku bar-bar untuk tidak bersama mereka.

“Aku berjanji pada suamimu untuk tidak membocorkan perihal anak gadismu. Dia berkata bahwa nasibnya tidak boleh berakhir sama dengannya.”

“Terima kasih.. Tapi, apa..”

“Tidak Sie, dia tangguh, tapi kali ini dewa keberuntungan tidak bersama dirinya. Tidak ada yang bisa melawan takdir dewa.”

Aku menangis sambil mendengar pembicaraan mereka. Ayah sangat tangguh, dia bercerita tentang mengalahkan beruang sendirian dengan kapaknya. Menebas kepala jendral jahat, dan mendapat pujian dari Lushan yang agung atas ketangguhannya. Sang raja tidak terkalahkan itu sendiri mengakuinya, bagaimana mungkin dia bisa kalah oleh tentara-tentara biasa?

Aku ingin percaya hal tersebut, tapi kumohon ayah cepatlah pulang..

Saat itu sahabat ayah pamit, dan ibu tertidur di ruang tamu. Aku mendekatinya. Dia terlihat begitu lelah, dan air matanya seperti sudah terkuras habis. Aku tidur bersandar pada ibu yang tidak terganggu tidurnya. 

Saat itu aku berdoa agar ayah kembali.

***

“Eghh.. ahh..”

Aku terbangun oleh suara rintihan diiringi suara mengetuk pintu. Ritme ketukan tersebut begitu lama, terdengar begitu lemas.

“Ibu..”

Aku menggoyang tubuh ibu, dan ibu yang sadarkan diri segera bertanya padaku apa yang terjadi. Aku berkata bahwa terdapat suara didepan, suara rintih dan ketukan, namun kini ketukan tersebut sudah menghilang. Mata ibu melotot, dia segera berdiri membuatku kaget dan membuka pintu.

“Suamiku!”

“Ayah!”

Aku begitu senang bahwa doaku dikabulkan oleh dewa, namun keadaan tidak membuatku senyumku keluar saat itu. Ayah tak sadarkan diri. Tubuhnya yang kekar dan gagah, kini terlihat begitu lemah. Tanpa baju yang ia kenakan, badannya dipenuhi dengan luka sabetan pedang, dengan daging yang terlihat juga tulang, aku seperti melihat binatang ternak yang dipotong dirumah jagal. Luka ayah begitu mengerikan hingga merinding diriku dibuatnya.

“Oh tuhan..”

Ketika ibu memasukan ayah dan menaruh dipangkuannya, mulut ayah terbuka dan terlihat lidahnya terpotong, dan alasan itulah mengapa ayah hanya bisa merintih didepan pintu. Aku takut saat itu, dia telah merintih lama sambil mengetuk pelan lalu putus asa dan akhirnya tak sadarkan diri. 

Ibu berteriak padaku untuk membangunkan nenek. Aku segera berlari membangunkannya dengan muka penuh harap bahwa nenek bisa menyembuhkan ayah. Aku tahu bahwa obatnya penuh dengan keajaiban. Tapi muka nenek saat itu terlihat kecewa mendengar bahwa ayah kembali. Dia berjalan begitu lambat hingga aku mendorongnya.

“Tidak, dia akan disini.. aku yang akan merawatnya”

Ketika itu tiba-tiba terdengar ibu yang sedang berbicara. Aku langsung merasa panik mengira ibu berbicara dengan tentara. Perasaan lega menyertaiku ketika mengetahui bahwa dia adalah sahabat ayah.

“Dia terluka parah Sie, biar kami yang merawatnya. Disini keadaannya hanya memburuk.”

Dibelakang sahabat ayah terdapat warga desa lainnya. Mereka terlihat khawatir dengan keadaan ayah, salah satunya terlihat menangis dan menjauhi rumah kami.

“ Tidak. Jika memang akan mati, maka dia mati disini.”

Tiba-tiba nenek menepuk pundak ibu.

“Sie.. kau tahu bahwa aku tidak memiliki obat untuk mengobati luka ini. Biarkan mereka yang mengobatinya.”

“Tapi ibu..”

“Dengarkan ibumu Sie, percayalah pada kami.”

Ibu akhirnya merelakan ayah. Saat itu ibu menangis menutup matanya. Nenek menganggukan kepalanya pada sahabat ayah, saat itu aku tahu terdapat sesuatu yang salah. Aku segera berlari melewati pintu belakang mengikuti ayah. Aku ingin tahu dimana mereka akan merawat ayah.

“Xiao?”

Nenek menyadari bahwa aku hilang dan berteriak. Saat itu aku sudah keluar, dan mengikuti jejak ayah, darah yang tercecer dari lukanya. Aku tidak memakai sendal, dan beberapa batu melukai kakiku, namun hal itu tidak membuat lariku berhenti. Aku benar-benar ingin tahu apa yang terjadi pada ayah.

“...” 

Aku bersembunyi di antara semak-semak. Mereka masih menggopong ayah, namun mereka malah menjauhi desa. Perasaanku mulai tidak enak.

“...”

Lama sekali kita berjalan sampai ke hutan bambu. Aku sering bermain disini dan tidak sekalipun pernah melihat rumah di dalamnya. Apa mereka berbohong pada ibu? Aku harus segera memberi tahu ibu, tapi jika aku kembali kerumah sekarang maka aku akan kehilangan jejak ayah. Aku akhirnya memutuskan untuk mengikuti jejaknya kembali, dimana diriku tertinggal oleh rombongan tersebut ketika berpikir untuk kembali atau tidak.

“Arghhh, hah..hah.. aw..aw! Hei, ayolah aku telah membantu keluargamu..

“Terima kasih..”

“AHHH!!””

Aku mendengar suara dari kejauhan, setelah memohon lalu berteriak, suara memohon itu seketika hening dan terdengar suara benturan. Aku perlahan berjalan mencoba tidak mengeluarkan suara dari semak-semak, walau aku sadar bahwa perutku masih sakit, dan kakiku berdarah oleh luka, aku berusaha sebaik mungkin menahannya.

“Sialan, aku tidak sadar bahwa dia menyembunyikan pisau kecil dimulutnya. Lu’er mati olehnya.. Sahabat bodohmu ini.. biarkan aku yang menggoroknya.”

“Dia mantan prajurit tangguh, bahkan di medan perang mereka menyebutnya Xiao Lun si Singa dari selatan. Aku perang bersamanya dan dia sungguh baik. Kupikir yang dia lakukan hanyalah pertahanan diri dari instingnya sebagai prajurit. Kita harusnya bersyukur dia tidak menyiapkan kapak besarnya. Bolehkah kita memberikan kematian terhormat padanya?”

Mereka berbicara tentang ayah! Aku segera memunculkan kepalaku perlahan. Terdapat banyak orang yang ditelanjangkan dengan tali yang mengikat tangan dan kaki mereka, membuat mereka bertekuk lutut. Mata dan mulut mereka ditutupi. Salah satu dari mereka membrontak, mata dan tutup mulutnya terbuka karena tidak diikat kuat dan hanyalah kain tipis yang dirobek dari baju mereka sendiri. Dia berteriak ketakutan saat itu.

“Oh tuhan, oh tuhan!!”

“DIAM!”

Seorang dari mereka, berbadan besar dengan goloknya yang juga besar mendekati orang tersebut. Aku ingat badan, muka, dan cara berjalannya yang lucu. Dia adalah pekerja di rumah jagal, terkenal karena mampu memotong daging babi beserta tulang-tulangnya dengan sekali tebas. Saat itu dia dengan tinggi menjulangkan goloknya, dan ketika itu secara refleks aku menutup mataku. Suara memohon tersebut menghilang, dan setelahnya aku mendengar suara menyeret dan suara dentuman keras seperti orang terjatuh.

“Ughh!!”

“Sial! Kalian cepat pegang kakinya!!”

Ayah sadarkan diri. Orang-orang menahan kakinya, sedangkan sahabat ayah memegang lehernya. Di tangan sahabat ayah terdapat pisau. Ketika pisau tersebut ingin menggorok leher ayah, tangan ayah yang begitu besar dan kuat meremas tangan tersebut, namun licin keringat membuat genggamannya merosot. 

“Ssstt, kita akan bertemu lagi Lun.. Tapi kau pergi duluan.. Jangan dendam, kau tahu bagaimana kondisiku sekarang bukan?”

“Hii!”

Pisau tersebut perlahan menghunus leher ayah. Aku berteriak kecil melihat betapa mengerikannya ketika pisau tersebut mulai bergerak dan darah keluar dari leher ayah. Tubuh ayah berguncang dahsyat hingga akhirnya lemas dengan tangan yang masih bergemetar. Seketika orang-orang yang menunggu giliran eksekusi menjadi kacau, mereka panik sambil mengguling-gulingkan badan mereka, namun ikatan mereka tidak turut terlepas.

“Suara itu!”

Aku segera sadar bahwa mereka mendengar teriakanku. Sambil menutup mulutku yang rasanya ingin menangis berteriak keras, aku berlari dengan kencangnya. Kakiku sakit, mereka memasuki semak-semak dan menyadari darah yang keluar dari kakiku. Lari mereka begitu kencang sebagai orang dewasa yang telah berpengalaman melewati semak-semak ini, dan aku mulai melepas tanganku dan fokus berlari. Saat aku melihat kebelakangku, diriku mulai menghela nafas ketika melihat mereka menghilang, namun tiba-tiba sesuatu yang keras menghantam kepalaku, dan segalanya gelap.

***

“Aku berjanji pada ayahnya bahwa dia tidak akan bernasib sama dengan ayahnya!! Ayahnya juga hanya setengah keturunan, peluangnya begitu sedikit untuk memiliki keturunan penyihir!”

“Jika mereka tahu, desa kita akan dibakar. Kau tahu sendiri bagaimana desa sebelah dibakar habis tanpa menyisakan nyawa.”

Aku baru sadarkan diri, rasanya pandanganku berkunang-kunang dan aku tertidur menatap langit diantara bambu-bambu. Gelap, bulan purnama tertutupi oleh awan-awan yang gelap. Satu-satunya penerangan adalah obor yang dibawa warga desa. Disekitarku terdapat kepala desa dan sahabat ayahku, mereka membicarakan diriku.

“Kau sudah bangun sayang?”

Dia menatapku, tapi aku tak berani menatapnya. Pria ini baru saja membunuh ayahku dengan kejinya. Saat berpaling, aku tersadar bahwa mereka masih melakukan eksekusi. 

“Kyaaa!!”

Aku histeris. Ketika menengok, aku menyaksikan hal yang sangat mengerikan dimana di antara seorang wanita yang berusaha kabur, golok salah satu algojo mengenai dadanya. Darah deras keluar dan dada yang terpotong tersebut memperlihatkan bentuk beruas-ruas seperti sarang lebah dengan susu asi yang keluar bersamanya.

Tanpa sadar aku mengompol. Sahabat ayahku merasa kasihan sambil menutup hidungnya. Padahal saat itu tempat ini memang sudah pesing, bau kencing dan amis darah.

“Begini saja.”

Salah satu dari mereka yang masih muda membangunkanku. Aku ingat dirinya, masih muda, belajar pada ayahku bagaimana menggunakan pedang dengan imbalan membantu ayah bertani dan memotong kayu. Dia tersenyum padaku.

“Yang penting tidak senasib ayahnya bukan? Oh, kau masih kenal aku kan Xiao-chan?”

Dia tersenyum padaku, memberikanku harapan. Aku tidak mau tahu lagi, aku ingin segera kabur dari sini. Aku mulai melupakan rasa amarahku, dan rasa takut membuat pikiranku mati.

“Maaf..aku hanya ingin..”

“Ya, aku akan menolongmu!”

Dia menendangku pelan. 

“Apa yang kau lakukan?!”

“Setidaknya kita tidak menggorok leher seperti ayahnya bukan?”

Kakiku terikat sehingga diriku tidak memiliki keseimbangan untuk menahannya, dan perlahannya aku terjatuh, diriku melihat jurang yang begitu gelap. Tiba-tiba saja bulan keluar dari awan-awan sekilas, dan aku melihat mayat-mayat yang bertumpukan dengan tutup mata yang terbuka, memperlihatkan mata mereka yang melotot ngeri. 

***

Badanku mati rasa. Gelap sekali disini. Aku mendengar banyak tubuh yang terjatuh, aku yakin saat ini diriku masih hidup. Tapi sampai kapan?

Bulan purnama kembali terlihat, dan aku melihat obor-obor tersebut menjauh. Aku menyadari bahwa sekitarku mulai terlihat.

“Shizu’er..”

Aku melihat Shizu’er disebelahku. Matanya masih tertutup saat itu Badannya tertusuk oleh bambu, dan sebelumnya dia telah disembelih seperti orang lainnya.

“Huaa...”

Aku menangis. Rasa ngeri muncul ketika diriku melihat ke kiri dan ke kanan, entah bagaimana kebanyakan dari mereka terbuka tutup matanya, dan mereka menghadapku, menatapku seakan cemburu padaku.

“Kepalaku dimana?”

“Hii..”

Aku mendengar suara rintihan dan suara orang yang bertanya-tanya. Rasa merindingku muncul dan aku seketika berhenti menangis.

“Xiao? Aku, aku tidak bisa bergerak..ahh..AHHH!!”

“..!!”

Aku terlompat kaget dan takut. Suara tersebut adalah suara Shizu’er, dia merintih kesakitan dan aku segera menutup telingaku ketika sadar tubuhku mulai bisa bergerak. 

“Ahh..sakit..”

Aku sadar tangan kananku begitu sakit ketika aku mencoba menutup telingaku dengan tangan kananku.

“Ahh...Ahhh...AHHH!!”

Aku sadar jari-jariku patah, bengkok ke kanan dan ke kiri. Kesadaran ini diikuti oleh rasa sakit yang luar biasa. Kusadari juga patah di siku tangan kananku, tulang menembus di antara daging. Darah keluar dengan segar ketika kucoba gerakkan.

“Ha..ha.. Ibu...”

“Kwak..kwakk..”

Ketika menangis dan meringis kesakitan, aku menyadari terdapat suara gagak dari kejauhan. Apa mereka memakan mayat? Entah mengapa suara tersebut membuatku mendekatinya, terseok-seok, menyeret badanku diantara mayat.mayat sambil memegang tangannku yang lemas terluntai.

“Hei..”

“Eh, Ada orang disana?!”

Aku berteriak, suara gagak tersebut tiba-tiba memanggilku.

“Ssst...beberapa diantara mereka masih berada disini..”

Akhinya awan benar-benar hilang dari langit, purnama benar-benar menyinari tempat ini . Aku melihat gagak yang sangat besar berdiri di atas mayat-mayat sambil menatapku.

“...”

“...tolong..”

Aku menangis. Aku hanya ingin pergi dari sini. Tapi gagak tersebut malah melihat langit, dan terdiam. Sampai akhirnya dia menatapku kembali.

“..Hanya kau yang bisa menolong dirimu sendiri.., aku bisa membantumu..”

Gagak tersebut tidak menggerakan paruhnya. Suara tersebut seperti keluar secara misterius. Aku sudah mulai tidak percaya dengan apa yang kudengar, mungkin aku berilusi atau ini hanya mimpi, tapi dia ingin membantuku.

“..Ya, bantu aku.”

“..Apa kau ingin kekuatan?”

Tiba-tiba mata gagak tersebut memerah, dia mematuk-matukan paruhnya di antara mayat. Dia melihat tubuh wanita, dan dikoyak-koyaknya tubuh tersesbut.

“..Ah..Kau ingin hidup? Makan daging ini..”

Dia mendekatiku, paruhnya dihadapkan pada mukaku. Aku tidak berpikir lagi, aku hanya mengikutinya dan memakannya. Aneh, rasanya begitu lezat.

“..Ikuti aku..”

Dia berjalan sambil meloncat-loncat. Aku mengikutinya menyeret badanku. Aku mulai lupa dengan rasa sakitku, dan sensasi daging tersebut seperti menguasai tubuhku. Aku lupa dunia. Lalu tanpa sadar aku mencoba mencari tubuh wanita, sekalinya kutemukan, tubuh tersebut tertimpa tumpukan orang-orang, dan tanganku tidak bisa digunakan untuk menggapai wanita tersebut.

“..Bisa kau beri lagi?”

“..Kau bisa gila..”

Aku menuruti ucapannya. Sadar bahwa yang akan kumakan adalah bangkai seseorang, tapi aku tidak bisa berpikir normal lagi. 

Aku mengikutinya, ketika tertinggal dia kembali menungguku sampai mampu mengerjarnya, lalu dia berjalan lagi. Sampai akhirnya aku melihat sarang burung. Banyak barang bercahaya, namun berbeda dengan lainnya, di dalamnya terdapat batu dengan bahasa bangsa china kuno yang bercahaya terang. Lalu gagak itu berbicara padaku.

“..Siapa yang bersalah?..”

“..Warga desa, nenek, sahabat ayah, anak muda tersebut, dan..Lushan.. Ya, Lushan.. Pendusta, lazim, kejam, aku benci, benci, benci,benci...”

Otakku dipenuhi oleh kata benci yang berulang kali keluar dari mulutku. 

“..Baiklah..”

Tiba-tiba batu tersebut bercahaya. Aku merasa tubuhku ringan seketika cahaya itu menyertaiku. Rasa benci meluap dalam hatiku, dan hanya kata Lushan, Lushan, dan Lushan saja yang ada dipikiranku saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar