Senin, 14 September 2015

SIMFONI CAHAYA BULAN - Chapter 2

Monster
By Reza Pratama Nugraha

Aku pernah bertanya pada ibu saat kita duduk bersama pada malam hari di depan perapian, dan mata ibu begitu bersemangat untuk mengajariku salah satu ilmu pengetahuan yang disukainya, matematika. Pertanyaanku adalah sesuatu yang telah kusimpan lama di hati, namun akhirnya terpikirkan batinku, siapa yang bisa menahan rasa ingin tahu ini? Ketika itu ia menyetujui untuk menunda pembelajaran matematika untuk hari esok.

Aku menarik nafas, mulai ragu apakah sebaiknya kutahan saja pertanyaan ini, tapi kupikir tidak ada bedanya hari besok ataupun tidak, jawabannya akan sama. Lalu akhirnya keluarlah pertanyaan itu, “Mengapa aku tidak boleh keluar dari rumah ini?”. Ya, aku tidak pernah menanyakan ini pada ibu karena takut bahwa dia akan menghukumku, dan pada saat itu akhirnya aku sadar bahwa tidak ada yang salah dengan pertanyaan berikut kecuali kenyataan yang mungkin tidak akan kuterima dengan baik.

Ekspresi ibu berubah, mata penuh semangatnya tidak terpancar kembali, dia kembali menjadi ibu letih yang baru pulang kerja setiap harinya, wajah lesu tidak bernyawa. Dia enggan menjawabnya, berkata aku belum siap untuk ini dan seorang ibu tidak seharusnya menjelaskan ini kepada anaknya, tidak etis.

Aku marah, banyak buku yang telah kubaca hingga rasanya diriku bisa menerima cerita-cerita paling tragis sekalipun, buku ibu sedikit yang berakhir indah. Ibu menghela nafasnya, dia pikir mungkin memang seharusnya aku tahu, dan mungkin ini bisa jadi pelajaran budaya yang menarik. Dia lalu menjawab dengan kata-kata yang tidak kumengerti, menandakan bahwa ternyata bacaanku belum sebanyak yang kukira.

“Anak haram?”

Ibu bilang jangan memotong ucapannya, maksudnya jadi berbeda, akan ada yang salah paham walau kutahu tidak ada siapa-siapa disini yang mendengar kita. Dia berkata bahwa aku bukanlah anak haram. Ayahku, John Lenard dan Ibu, Julia Lenard, mereka berdua resmi menikah, dan aku adalah anaknya. Dia menyuruhku jangan lagi memotong omongannya karena memotong penjelasan orang akan menciptakan kekacauan dari maksud yang sesungguhnya.

“Aku ulang lagi, Ada 3 orang yang sangat dibenci oleh orang-orang. Salah satunya tadi yang kau sebutkan, tapi kau bukan salah satu dari itu.” Ibu berkata sambil menunjukan tanda tiga pada jarinya, matanya menyipit menatapku, mungkin dia ingin memperlihatkan keseriusannya.

“Pertama Anak haram, anak diluar pernikahan hasil dari perzinahan. Selama hidupnya dia akan mendapatkan panggilan nama belakang yang bukan merupakan marganya, berbeda-beda tergantung suku yang didiami sang anak agar semua orang tahu bahwa dia anak haram. Anak haram akan mendapatkan kesusahan selama mencari pekerjaan, dan akan dijauhi oleh orang-orang. Mereka namun bisa keluar, pergi ke tempat lain dan mengganti nama mereka. Sesungguhnya kupikir kasus anak haram ini seharusnya hilang jika saja mereka tidak bersikeras tinggal di tempat lahir mereka.”

Aku tidak mendapatkan logika dari pernyataan pertama. Kenapa sang anak yang sepertinya berdosa dari perlakuan orang tua mereka yang tidak senonoh? Tapi aku tak boleh menyela, ibu akan memukul pantatku jika saja aku memotong ucapannya kembali.

“Kedua anak cacat, bisa karena badan mereka yang tidak sempurna atau keterbelakangan mental. Mereka seperti parasit, kau tahu parasit?”

Aku menganggukan kepalaku. Mahluk yang mendiami inang, mengambil makanan mereka bagai pencuri, tidak memberikan keuntungan apapun. Ibu pernah menjelaskan mahluk ini ketika menceritakan keberagaman jenis mahluk hidup.

“Itu kiasan. Mereka hidup bergantung pada orang tua, dan ketika orang tua mereka meninggal maka tidak ada yang ingin mengurusi mereka. Tapi aku kenal orang-orang yang mampu membuat anak mereka dalam kasus ini menjadi berguna, beberapa dari mereka sesungguhnya memiliki anugerah unik dari tuhan. Pemusik terkenal dari barat sana kudengar bisa membuat mahakarya walau dirinya buta, dan terdapat pelukis tersohor yang ternyata memiliki keterbelakangan mental. Ini semua tergantung orang tua sang anak, dan jarang sekali dari mereka yang mampu menemukan potensi anak mereka.”

Aku menganggukan kepalaku, ternyata masing-masing memiliki solusi dari masalah mereka, setidaknya dengan pola pikir yang benar. Namun, bagaimana dengan aku? Bukankah berarti aku memiliki solusi seperti kasus pertama dan kedua?

“Ketiga, kamu Racke.”

Ibu menatapku sedih. Dia tiba-tiba berhenti menjelaskan, matanya ke kanan dan ke kiri, berpikir bagaimana cara menjelaskan hal ini.

“Ibu cepat jelaskan mengapa aku tidak boleh keluar?”

“Iya, iya.. Ibu hanya bingung bagaimana mengatakannya. Kau berbeda Racke, tidak pernah ada kasus sepertimu. Kasus ketiga adalah hal yang kubuat sendiri melihat situasimu. Kau bukan anak haram, dan bukan anak cacat, namun nasibmu mungkin.. lebih buruk.”

Ibu menelan ludahnya.

“Tanduk itu masalahnya.”

Dia menunjuk pada tanduk di kepalaku. Aku memegangnya, kokoh tertancap di kepalaku. Aku selalu lupa bahwa tanduk ini sudah berada lama di kepalaku. Merepotkan, aku tidak bisa memakai jaket tudung, kadang memakai bajupun susah.

“Kenapa dengan tanduk ini? Apakah tanduk ini merugikan seseorang?”

Ibu menggelengkan kepalanya.

“Tidak ada yang salah dengan tanduk itu.”

“Lalu apa yang salah!”

Aku tiba-tiba menaikan suaraku. Bagaimana bisa aku terkurung di rumah ini tanpa perihal akibat yang jelas dari sesuatu yang telah kubawa dari lahir. Kupikir aku sudah siap mendengar ketidakadilan, toh tema itu selalu dipakai di buku-buku ibu.

“Aku tak ingin punya tanduk, dan kau bilang sendiri bahwa aku sudah memilikinya sejak lahir!”

Namun tidak, aku tidak mau menjadi tokoh tragis tersebut, aku tidak mau menjadi tokoh tidak beruntung tersebut. Tangisku keluar saat itu.

“Tapi begitu pula anak haram dan cacat. Apakah mereka menginginkannya? Tidak bukan? Mereka harus menerima takdirnya, dan menjalani hidup mereka..”

Ibu memelukku ketika dia menyadari bahwa aku telah menangis. Aku kesal, kesal dengan semuanya. Bagaimana mereka membenciku ketika diriku tidak pernah berbuat salah pada mereka?

“Kau tidak bersalah anakku.. Memang ada yang salah dengan dunia ini, karenanya aku ingin kau belajar, belajar untuk berbeda, belajar untuk mengerti bahwa kau tidak pernah salah, agar kau bisa duduk manis di rumah ini memahami bahwa dunia ini salah dan menerimanya.”

Ketiak itu ibu menyuruhku tidur, dia akan menjelaskan lebih lanjut mengapa tanduk itu memiliki kesan negatif di masyarakat. Dia berkata bahwa aku harus mengetahui sesuatu yang tak pernah dibacakannya padaku, perihal konflik lama manusia dengan Beastman, bahasa barat untuk manusia binatang.

***

Tentu aku mengetahui perihal manusia binatang, mereka selalu menjadi antagonist di dalam kisah-kisah petualangan. Satu hal yang tak pernah kuketahui adalah setiap buku yang mencoba menjelaskan deskripsi mereka akan terdapat tinta yang menutupinya, ibu dengan teliti menghapus satu demi satu kalimat dengan alasan yang misterius. Pernah aku melihat ibu merobek-robek satu buku dan membuangnya ke perapian, setelah kucek pada sisa-sisa pembakaran, aku bisa melihat sampul buku tebal tersebut masih memperlihatkan judul yang tertampang samar-samar oleh bekas gosong, disitu tertulis ‘Studi kehidupan dan budaya Beastman’.

Aku kembali duduk di depan perapian, ibu tidak pernah menjelaskan tentang beastman, dia mungkin sudah lupa karena kesibukannya selama ini, atau mungkin dia memang tidak ingin menjelaskannya. Aku sendiri memiliki ketakutan, bahwa aku kembali tidak bisa menerima takdirku tentang terdapat sangkut pautnya kondisi diriku dengan beastman. Hal tersebut pastinya bukan sesuatu yang baik, lebih tepatnya sangat buruk.

“Kau tahu? Entah mengapa aku takut tentang kenyataan dibalik tanduk ini.”

Aku berbicara dengan malaikat bisu di sebelahku yang entah mengapa terlihat heboh melihat jendela.

"..."

Dia tidak mendengarkanku, dan hal tersebut membuatku kesal. Segera aku mendekatinya dan menjitakinya.

“Kenapa sih kamu!”

Dia memegang kepalanya, sedikit air mata keluar dari matanya. Aku sadar bahwa dia melihat anak-anak yang bermain bola di salju yang telah dibersihkan diluar. Mereka tersenyum, tertawa, menendang bola yang terpantul-pantul di tanah. Aku berpikir tentang cara bagaimana memainkan bola yang mereka tendang berikut, saling merebutkan satu bola, lalu ketika bola tersebut melewati dua celah kayu yang tertancap di antara salju, mereka terlihat merayakannya selagi si penjaga celah yang gagal menangkapnya terlihat sebal. Dia membanting sarung tangannya, dan menendang tumpukan salju di depannya.

“Aku sepertinya tahu cara bermainnya, menarik sekali bukan, malaikat bisu?”

Dia menganggukan kepalanya, mengerti apa yang kuucapkan. Aku dan malaikat bisu menatap mereka bermain, mengamati mereka dengan asik, namun kusadari salah satu dari mereka menatap jendela. Aku segera bersembunyi bersama malaikat bisu. Ibu bilang bahwa selain orang tua, anak-anak tidak boleh melihat sosokku. Sekali lagi, alasannya tidak jelas.

“Hampir saja yah!”

Aku tertawa, dan malaikat bisu juga tertawa dalam bisunya. Dia memang seperti itu, tidak pernah berhenti tersenyum, bingung ketika melihatku sedih, dan tertawa ketika melihatku tertawa. Ketika tertawa, dia membuka mulutnya, diikuti suara nafas yang menunjukan ritme tawanya.

Oh, satu hal yang kumengerti tentang mengapa dia tidak bisa bicara. Ketika dia tertawa dan mulutnya terbuka lebar, aku mengetahui bahwa Malaikat bisu tidak memiliki lidah yang utuh, sisa lidah di mulutnya seperti terpotong oleh sesuatu. Aku tidak berani berpikir perihal apa yang terjadi pada dirinya, di tambah peristiwa misterius yang menyebabkan dia jatuh ke kamarku yang membuat lubang di langit-langit, dengan sayapnya yang penuh darah, dan muka sedihnya. Dia menangis saat itu, berteriak dengan suara tenggorokannya dihadapanku yang masih tidak mengerti apakah aku masih bermimpi atau telah terbangun. Sesuatu pasti terjadi di surga sana pikirku.

“Ayo lihat lagi!”

Aku tersenyum kepadanya, mencoba melupakan ingatanku perihal dirinya. Dia telah menemaniku selama ini, tidak pernah sekalipun pergi menjauhiku pasca kejadian tersebut. Aku turut senang, setelah buku sebagai teman kesendirianku, kini terdapat malaikat seperti di kitab suci yang ibu bacakan padaku. Mungkin aku akan berpikir bahwa tuhan telah mengirimkanku teman bermain seumuranku jika saja cara ia datang kesini tidak terlihat se-tragis itu.

Aku menatap mereka, tidak ada siapa-siapa. Aneh, padahal baru 3 menit aku rehat melihat mereka. Dimana? Dimana mereka semua?

“HUAAAA!!!”

Tiba-tiba di depan jendela terdapat gadis menatapku kaget, dia baru saja membungkuk mengambil sesuatu dan kini dia juga turut berteriak. Dia memegang bola di tangannya. Bola tersebut pasti terlempar ke halaman depan rumah ini, dan gadis seumuranku ini disuruh untuk mengambilnya.

Ia terlihat kaget, ekspresinya berubah perlahan menjadi ngeri, lalu ia menangis kencang dan teman-temannya mulai terlihat melewati pagar untuk membantunya. Aku langsung menutup gorden rumah, duduk bersembunyi sambil berlari menjauh ke kamarku.

Aku menutupi diriku dengan selimut, dan aku tahu bahwa malaikat bisu ada di sebelahku, mengelus kepalaku. Tiba-tiba rasa sedih meledak dari dadaku, aku menangis, menangis sangat kencang.

Tatapan gadis tersebut persis dengan deskripsi buku yang kubaca, ekspresi manusia yang melihat sosok beastman, ekpresi ketika mereka melihat monster.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar