Senin, 14 September 2015

Chapter 11 - Naqoyqatsi

THE YEAR OF THE BEAST
By Reza Pratama Nugraha

Anakku sering bertanya padaku tentang tuhan, siapakah tuhan, bagaimana wujudnya? Apakah seperti patung-patung di kuil yang mengajarkan kedamaian? Terakhir kali dia bertanya demikian sambil menunjukan padaku ajaran agama orang asing, bahwa kita semua memiliki takdir yang tertulis dimana terdapat angan-angan tuhan dengan tujuan yang misterius, yang bahkan satu kerikil yang jatuh ke tanah pun memiliki tujuannya tersendiri

“Lalu ayahanda.. aku semakin merasakan kegaduhan dalam hatiku.” Ucapnya lirih.

“Pernyataan dirinya mengenai sifat tuhan menjadi penuh dengan kontradiksi, sifat yang berlawanan sama sekali! Bagaimana mungkin dia ada, dengan rasa kasih sayangnya dan takdir-takdir yang ia tuliskan, lalu perang dan pembantaian itu terus terjadi dan ia biarkan begitu saja? Bukankah rasa kasih sayangnya menyertai semuanya? Lalu jayanya orang-orang jahat selama ribuan tahun, dan banyak kematian yang menyertainya.. Apakah kematian tersebut juga adalah angan-angannya, seakan ada tujuan mulia dibaliknya? Maka tuhan.. maka.. “

Dia berhenti bicara, tatapannya penuh keraguan untuk mengatakannya atau tidak.

“Oh Ayahanda, hatiku begitu dipenuhi dengan kegaduhan, apakah kepercayaanku padanya akan dipertanyakan?” Dia tidak jadi mengucapkan prasangkanya, dan bertanya padaku perihal tuhan seakan aku mengenalnya.

“Dipertanyakan? Ayolah nak, aku belum mati! Bagaimana bisa aku menjawabnya? Lagipula kau pelajari semua itu dari mana?” Ucapku.

“Para pedagang dari timur ayahanda, yang menggunakan sorban dari jalur sutra.”

“Begini saja, dengan fakta yang demikian, maka cari agama yang sesuai dengan pandanganmu. Di belahan dunia lain, terdapat tuhan-tuhan yang memuja perperangan, di lain dunia lagi terdapat tuhan-tuhan kedamaian. Setiap ajaran berbeda, kebenaran itu relatif tergantung pada nilai budaya wilayah yang dipegang.”

“Maksud ayahanda?” Anakku berbicara dengan penuh tanya, masih belum sadar bahwa ayahnya bukanlah seorang pemikir agama seperti dirinya.

“Banyak tuhan anakku sayang, bisa saja yang kau puja salah. Bisa saja tuhan yang sesungguhnya adalah mahluk maha keji, bisa saja sebaliknya, toh tuhan selalu di gambarkan dengan sifat ‘kemahaan’. Kalau aku boleh bicara tentang siapa yang benar, coba kau pelajari tuhan suku bar-bar, kupikir mereka memiliki banyak tuhan dengan tugasnya masing-masing. Dewa air, petir, api, dan sebagainya. Jika demikian, bukankah dewa tersebut yang paling cocok, setidaknya mereka setidaknya menghidupi kita bukan?”

Ketika aku mengucapkan ini, aku mulai berpikiran bagaimana orang-orang memikirkan betapa udiknya orang yang menyembah matahari. Jika dibandingkan tuhan mereka, setidaknya matahari sudah terbukti menghidupi kita. Tanpanya kita sudah mati membeku, dan tanpanya takkan ada satupun tumbuhan yang tumbuh.

“Lalu bukan pertanyaan lagi ketika mereka menggunakan kekuatan mereka, itu hasil interaksi mereka dengan tuhan, kupikir mereka benar-benar nyata.”

Di akhir aku mulai menutupi mukaku, sadar betapa ironisnya ucapanku. Suku bar-bar sudah kubantai habis, setidaknya mereka yang memiliki sihir. Bagaimana anakku bisa mempelajari tuhan mereka pikirku.

“Tapi ayah, aku tidak setuju bahwa mereka adalah tuhan yang sesungguhnya. Ini bukan perihal logisnya mereka menghidupi kita, tapi secara esensi penciptaan, mereka..”

Anakku menjelaskan padaku tentang konsep ketuhanan yang ia percaya. Aku tidak bisa mengingatnya Aku hanya kesal karena akhir pekanku setelah perperangan yang tak kunjung usai malah digunakan untuk berdiskusi soal sesuatu yang kuanggap percuma bersama anakku, topik yang kurang kupahami, dan topik yang sangat kuhindari karena banyak konflik yang timbul darinya. Di masa depan kupikir topik mengenai tuhan ini takkan pernah selesai, agama akan terus ada walau manusia sudah lebih berakal dari sekarang.

Toh tuhan adalah produk harapan, dari dunia tanpa harapan.

***

Bagaimana aku bisa bermimpi tentang anakku, dan bahkan saat kita membicarakan tuhan? Entahlah, tapi kini diriku sudah merasa berada pada ujung hidupku, sakratul maut tepatnya. Mulutku keluar busa, terlihat dari cermin yang berada di depanku. Terdengar rengekan dari mulutku yang tak sengaja kukeluarkan. Pandanganku berguncang, dan yang aku tahu setelah itu adalah ternyata tubuhku ikut berguncang bersamanya.

Aku jadi ingat bahwa orang yang ingin mati akan mengingat masa lalunya, bahkan seluruh hidupnya ia ingat dalam sepersekian detik, maka ingatan tadi benar-benar terasa acak, bukan ingatan yang sama sekali penting menurutku. Tapi jika dipikir-pikir lagi, aku tahu beberapa orang yang mati suri, mereka berimajinasi soal neraka, kawah hitam, dan sebagainya yang persis dengan versi agama mereka, seakan pernyataan tersebut mendukung kepercayaan mereka. Mungkin mimpi tentang masa lalu itu mencoba memberitahuku bahwa dia sedang mengotak-ngatik versi mana yang cocok untuk diriku, dan dia tidak menemukannya sehingga dibawanya diriku dalam ingatan tersebut.

Omong-omong saat ini aku bisa melihat banyak orang yang panik, membersihkan busa yang bergelinang di mulutku, memotong sesuatu, menusuk sesuatu.

Lalu aku pingsan saat itu

***

Aku terbangun lagi, dan kali ini penglihatanku buram. Terdapat dua orang di depanku. Aku sedikit mendengar ucapan mereka bahwa mereka mengirim kelompok penyihir kerajaan untuk memantau perkembanganku. Salah satunya mendekatiku, dan dia berbisik padaku.

“Hai Lushan.”

Suaranya asing, gadis, mungkin masih muda. Terdapat suara canda dalam tawanya.

Aku pingsan lagi. 

***

Kali ini terdapat ibu, dia memegang pisau di tangannya, dan aku tahu bahwa dia berkehendak untuk menusukannya padaku. Dalam hati aku bertanya mengapa dia ingin melakukan hal tersebut, dosa apa yang telah kuperbuat?

Tidak ada siapa-siapa saat itu, dan ibu menangis hingga air matanya mengenai mukaku. Dijuntainya pisau tersebut jauh di atas langit-langit, dan tiba-tiba sesuatu menghentikannya. Balthiq berlari dan menahan tangan ibu.

Dia membentak ibu, dan aku tidak bisa mendengarnya secara jelas. Ibu menangis sejadi-jadinya saat itu sembari melepas pisaunya.

“...!”

Dia kemudian sadar bahwa mataku terbuka sedikit menatapnya. Dia terlihat kaget, tatapnya melotot, pupilnya membesar, ekspresinya berubah seperti seseorang yang menatap sesuatu yang mengerikan. Lalu dia segera pergi dari sana memegang mulutnya, menjauhi diriku, dan memuntahkan isi perutnya. Balthiq saat itu segera mendekati ibu, memengangi punggungnya, mencoba menenangkannya.

Saat itu air mataku keluar walau kini aku benar-benar lumpuh. Rasa pilu muncul di dadaku, dan aku mulai mengingat sesuatu yang samar. Aku seperti melihat Ibu dan Balthiq dalam ingatanku, sesuatu yang sepertinya tidak pernah kulakukan. Balthiq yang berjalan di antara mayat-mayat yang tertusuk oleh kayu, Ibu yang meronta-ronta kesakitan, dan ketika Balthiq memelukku oleh alasan yang misterius. Aku tak bisa mengingat lebih dari itu selain perasaan yang terus terjebak dalam dada ini, sedih dan putus asa.

Dan aku pingsan lagi.

***

“...”

Kali ini aku tidak lagi bangun di ruang perawatan tersebut, namun berada di ruangan serba putih dengan dewa materi di hadapanku. Dia seharusnya tahu bahwa dia tidak bisa semena-mena membawaku ke dunia ini, atau.. jangan-jangan kini diriku sudah mati?

“Oke, ada beberapa hal yang harus kau ketahui. Aku akan memulainya dari yang pendek dulu.”

Dewa Materi memperlihatkan mukanya dengan lekukan-lekukan api merah dan biru. Lekukan tersebut memperlihatkanku ekspresi yang tidak nyaman pada mukanya. Ketika mulutnya mulai bergerak, aku segera memotong ucapannya.

“Tunggu,” Ucapku sambil memberikan tanda berhenti dengan tanganku. Mulut dewa tersebut langsung menutup kembali.

“Sebelum itu aku ingin memastikan sesuatu.”

“Baiklah.”

Ucapannya memperlihatkan nada tidak nyaman, dia pasti sangat tersinggung. Sebagai dewa, manusia yang menghentikan ucapannya pasti sangatlah menganggu harga diri mereka, seperti layaknya penasihan menahan ucapan kaisar, bisa-bisa mereka digantung. Satu-satunya hal mengapa aku sengaja berani kurang ajar karena kupikir sang dewa sendiri harus mengakui dirinya sendiri melanggar apa yang kita setujui, untuk tidak semena-mena melakukan sesuatu tanpa izinku, sama kurang ajarnya. Lagipula, pertanyaanku hanyalah pertanyaan simpel yang bisa ia jawab satu kalimat saja.

“Apa  diriku telah mati?”

Tak ada penjelasan lain, ingatan masa lalu, kejang-kejang yang kuterima, dan kondisi yang terlihat tidak membaik setelah itu.. Aku hanya memikirkan sakratul maut saat ini.

“Tentu tidak! Aku takkan bicara padamu sekarang jika kau akan mati setelahnya! Kejang-kejang tidak berarti apa-apa, walau aku tahu, beberapa dari manusia mungkin menganggapnya komplikasi penyakit akut.”

Aku bernapas lega, dia dewa, setidaknya dia tahu apa yang benar-benar terjadi padaku.

“Pertama, seseorang menembus alam bawah sadarmu.”

“Alam bawah sadar?”

Menembus alam bawah sadar? Aku mulai ingat, praktik penyihir dalam mendapatkan informasi penting dengan menembus pikiran, memasuki memori untuk menemukan rahasia penting. Sepertinya pagar sihir yang melindungi isi kepalaku di masa depan tidak terbawa ke masa ini. Kupikir satu-satunya pelaku yang mampu dan ingin melihat isi otakku hanyalah ibu semata, hal ini menjelaskan bagaimana perilakunya, dan pandangannya padaku.

“Hal ini menjelaskan bagaimana ibu melihatku tadi..”

“Bukan hanya dia, kakakmu juga. Kupikir dia bahkan berinteraksi dengan kesadaranmu karena kesalahan yang kulakukan ketika ingin mengguncang mereka keluar. Apakah kau seperti memiliki ingatan samar-samar mengenai interaksimu?”

Balthiq? Bahkan ibu melakukan hal riskan dengan mengajak Balthiq. Dia pasti benar-benar merasa risih dengan perubahan drastis pada anaknya, dan tentu misteri bagaimana diriku bisa menggunakan sihir seperti tadi bukanlah hal sepele. Ketika tau diriku tidak kerasukan sesuatu seperti roh penyihir yang penasaran, atau dewa yang nyasar, tidak ada cara lain selain memasuki pikiranku dan mengungkapkannya. Mengajak Balthiq sendiri sangat misteri bagiku, seperti bagaimana ibu sering merahasiakan banyak hal padanya.

“Ya, aku merasakan pilu ketika melihat ibu. Aku seperti memiliki ingatan samar-samar mengenai apa yang mereka lakukan di dalam pikiranku, apakah aku sepelupa ini?”

Dewa menggelengkan kepalanya padaku.

“Seperti mimpi, aktivitas alam bawah sadar tidak seharusnya direkam dalam otak. Dia hanya tersimpan di bagian temporal, dan hilang begitu tidak lama setelah terbangun. Interaksi antara kesadaranmu menciptakan pengalaman seperti mimpi, dan mungkin telah terjadi suatu hal buruk yang menciptakan perasaan pilu tersebut.”

Aku tertawa, tertawa atas betapa ironisnya hal ini. Masuk ke dalam memoriku sesungguhnya adalah kesalahan terbesar mereka. Sudah sangat jelas bahwa hal buruk tersebut memang akan terjadi. Dewa melihatku bingung saat itu, dia terdiam menungguku tertawa. Mengetahui dia menunggu, aku segera menjelaskan alasanku tertawa yang sebenarnya merupakan ekspresi ironiku, mencoba melanjutkan penjelasannya pada permasalahan berikutnya.

“Tidak ada hal baik dalam memoriku. Dia pasti sudah melihat yang terburuk dari segala memoriku tentang diri mereka sendiri.”

Aku membayangkan Balthiq maupun Ibu melihat takdir mereka sesungguhnya di otakku, pasti meninggalkan rasa trauma besar pada diri mereka.  Aku tak sabar melihat bagaimana reaksi mereka setelah aku terbangun. Kekacauan yang telah kulakukan seperti bencana demi bencana, reaksi beruntun yang tak bisa dihentikan, dan karenanya lama-lama aku rela menerima apa yang tak bisa kukendalikan. Kini aku hanya bisa berpikir untuk menjelaskan alasan dari segala kejadian tersebut, mengapa semua hal mengerikan itu dapat terjadi, hingga ibu tidak mencoba mengarahkan pisaunya ke hadapanku lagi.

“Lalu apa masalah utamanya?”

Ekspresinya kembali terlihat tidak nyaman, bahkan ia menggeser kakinya seperti orang yang grogi.

Ya, aku baru tahu bahwa dewa pun bisa grogi.

“Ini perihal dunia para dewa. Lebih baik kita kesana sekarang juga.”

“Dunia para dewa? Maksudmu masalah ini..”

“Ya, masalah para dewa, dan kau terlibat didalamnya. Kupikir mereka punya pikiran mengenai kontrak kita, sekaligus perihal peristiwa anomali sepertimu.”

Berbeda dengan masalah manusia yang tak kunjung usai, dunia para dewa adalah dunia yang tak mampu disentuh manusia biasa kecuali para penyihir. Aku sesungguhnya benci mengenai ini, dewa adalah sosok dimensi yang berbeda dengan manusia, mereka lebih tinggi dari kita, mereka pencipta kita. Jika saja ada masalah, apakah sosok manusia yang bagai semut bagi mereka bisa mengubah sesuatu yang berarti?

***

Dewa menutup kedua mataku, dan membukanya kembali. Seketika aku sudah berada di tempat lain. Seperti di ruang sidang dengan aku dan dewa sebagai terdakwanya. Terdapat banyak kursi penonton mengelilingi kami, besar sekali dengan sosok gelap diantaranya, dimana kursi tersebut berada pada lantai yang bertingkat menjulang kelangit, banyak sekali. Lantainya dipenuhi oleh permadani arab yang begitu indah, dan juga dipenuhi oleh bebauan-bebauan manis parfum mawar. Disini kupikir dewa memiliki selera juga, tak jauh berbeda dengan manusia.

“Selamat datang di tempat para dewa. Sosok di kursi-kursi tersebut, semuanya adalah dewa, kebanyakan mengatur elemen alam, namun terdapat elemen yang lebih dari kompleks dari itu semua.”

Kompleks? Aku berusaha memahami ini semua, mengambil pelajaran baru bahwa dewa merupakan elemen-elemen alam, atau bahasa lain yang kupikirkan adalah sifat-sifat yang mengatur alam. Dewa-dewa dari suku bar-bar menyatakan bahwa terdapat mungkin seratus, atau dua ratus lebih sosok dewa. Mereka menyembah angin, air, matahari, segala hal yang mereka pikir menghidupi ataupun membuat takut mereka. Kini di hadapanku, apapun yang mereka sembah duduk bersama, dan kupikir dengan ribuan kursi di depanku akan membuat mereka kecapaian menyembah mereka semua.

“Masih ada waktu, adakah yang ingin kau tanyakan Lushan? Aku bisa melihat bahwa kau sepertinya tertarik dengan dunia baru ini.”

“Ah, ya. Anakku sering bertanya padaku mengenai dewa-dewa, tanpa sadar aku jadi berusaha memahami kalian. Aku lupa, mereka menyebutmu dewa materi bukan?”

“Ya, dewa materi. Pernah kujelaskan padamu bukan? Bahwa kekuatanku dipakai di masa depan untuk daya hancur yang kuat, namun hal tersebut tidak lain hanya beberapa manipulasi dari hukum yang menyertaiku. Aku adalah susunan paling dasar dari segala elemen kebanyakan yang ada disini, dasar yang sesungguhnya sama. Aku tidak bisa menjelaskan padamu dengan pengetahuan di masamu, tapi hal ini mampu menjelaskan beberapa pemikiran filosofis yang salah.”

Aku mulai berpikir tentang buku-buku yang kubaca, kebanyakan mengenai pengobatan. Mereka mengatakan bahwa elemen penyusun harus diseimbangkan agar mencapai kesehatan yang sempurna, elemen tersebut adalah api, air, tanah, dan udara, mungkin ini yang dimaksud dewa materi.

“Seperti manusia memiliki susunan api, air, tanah, dan udara?”

“Ya, manusia tidak disusun oleh elemen tersebut, dan dalam tingkatan dasar sendiri mereka adalah sama. Akulah penyusunnya, namun ditengarai susunan yang berbeda, hukum yang berbeda.”

Dalam artian dia adalah dewa yang menciptakan segala elemen tersebut sehingga mereka ada karena dirinya sebagai penyusun? Bukankah hal tersebut menciptakan kondisi dewa menciptakan dewa lainnya? Apakah banyaknya dewa disini adalah sosok yang saling tercipta atas banyaknya kondisi, dan tunggu, bukankah berarti dewa-dewa ini seperti diciptakan?

“...”

Ah, kupikir tak ada habisnya memikirkan ini semua. Intinya adalah, dewa materi sebagai penyusun, merupakan satuan terkecil yang menyusun segala kondisi tersebut. Atas pemikiran simpel ini, aku berusaha mensimpulkan ucapannya.

“Maksudmu secara artian, kau diatas mereka semua?”

“Aku sesungguhnya tidak bisa menciptakan kondisi sekompleks mereka, namun aku bisa membatalkan eksistensi mereka jika kumau, karena ada zatku di antara mereka. Hal ini yang menjadi problema, aku seharusnya tidak bermain di tingkatan mereka..”

Ketika itu dia mendekatkan mulutnya ke telingaku, rasanya sedikit panas karena dia memiliki rupa api.

“Nanti kita bicara lagi Lushan, sepertinya mereka semua sudah hadir. Kuperingati satu hal padamu, kumohon jangan berbicara. Kumaklumi kau menghentikan ucapanku, tapi dewa-dewa di depanmu, kebanyakan dari mereka sangat polos dan tempramental, terutama mengenai kedudukan dewa dan manusia.”

Setelah mengingatkan hal tersebut padaku, dewa materi mengetukan kakinya, bunyinya bergema memenuhi ruangan ini, sepertinya tanda bahwa diskusi antara mereka akan dimulai. Aku tidak bisa melihat wujud mereka dengan jelas, ruangan ini menyoroti sinar pada kami namun tidak pada mereka.

“Selamat datang semuanya! Sepertinya kita masih kekurangan satu lagi..”

“Tidak usah berlama-lama dewa materi. Kita langsung ke topik saja.”

Suara yang membalas dewa materi begitu berat dan bergema diseluruh ruangan. Aku langsung merasakan merinding di bulu kudukku, mereka seperti berbicara dalam frekuensi yang benar-benar berbeda dengan manusia.

“Maaf, bisakah kalian menyebut diri kalian masing-masing? Kalian terlihat gelap disana!”

Dewa materi berbicara dengan nada canda. Sikapnya membuat tempat ini ramai sekali, sampai-sampai aku menutup telingaku. Dari segala ketidakbijaksanaan dewa materi, kupikir dia tahu benar siapa saja dewa-dewa yang berbicara padanya dan melakukan ini agar diriku bisa mengenal siapa masing-masing dari mereka yang berbicara. Sesuatu yang cukup membantu, jika aku cukup peduli soal banyaknya dewa-dewa disini.

“Aku tidak ingin bercanda dewa materi, tapi baiklah, sepertinya aku mengerti maksudmu, diriku dewa petir.”

Dari suaranya dia terdengar sangat serius, tapi mengalah untuk mengikuti permainan dewa materi.

“Seperti yang kau ketahui sendiri, sosokmu adalah dasar dari segala dasar eksistensi dunia ini. Hampir dari segala elemen dunia berasal darimu, kau adalah penyusun dasar kami semua! Berurusan dengan manusia masih kami maklumi, tapi mengikat kontrak dengan manusia? Bukankah kau sadar bahwa dengan hal tersebut kau bisa memberi kuasa penuh pada manusia untuk menggunakan kekuatanmu. Dia bahkan bisa melenyapkan dunia begitu saja!” Dewa petir mencoba menjelaskan argumennya, dan terdengar begitu absurd di telingaku.

Melenyapkan dunia? Maksudnya kekuatan yang kumiliki benar-benar di luar kodrat manusia? Tiba-tiba aku menjadi sedikit setuju dengan ucapan dewa yang satu ini, manusia tak pantas memiliki kekuatan ini, ini sama saja dengan kekuatan absolut, sangat rentan korup bahkan walau diriku sendiri yang memegangnya.

“Apa kau pikir aku memilihnya secara asal? Dewa penyakit, kau pernah meminjaminya kekuatanmu bukan? Aku melihatnya, sangat dahsyat kekuatan yang kau berikan padanya.”

“Ya, ketika dia diserang oleh sekumpulan bandit lemah.”

Suara wanita terdengar dari kegelapan, berbeda dengan suara sebelumnya, suaranya begitu lembut. Aku ingat telah menggunakan kekuatan yang tanpa sadar keluar oleh ingatan tentang apa yang ibu lakukan kepada para bandit tersebut, sihir yang sangat mengerikan.

“Dia lebih berarti dari berapa manusia?”

Dewa materi sepertinya ingin mengutarakan berapa manusia yang telah kubunuh, betapa istimewanya eksistensiku.

“Puluhan juta manusia, kekuatan yang cukup untuk memakai penyakit yang hampir melenyapkan setengah populasi manusia tersebut.”

Aku dipenuhi dengan kekagetan akan fakta kekuatan yang kugunakan. Lalu puluhan juta manusia? Aku tak benar-benar sadar bahwa sebanyak itu tanggung jawab jiwa yang kutanggung selama ini, setidaknya aku sedikit lega, pada masa ini puluhan juta jiwa tersebut masih hidup. Entah bagaimana konsepan mengenai hal ini, ketika diriku kembali ke masa lalu dan nyatanya kini aku masih menanggung jiwa mereka.

“Bahkan tanpa kontrak, dia sudah bisa menguasai hampir segala potensi dari semua kekuatan kalian disini. Eksistensinya sungguh istimewa, dan aku kaget, tidak di antara kalian yang mengunjunginya?”

“Anomali. Masa depan yang tidak bisa dilihat dan lepas dari rentang hukum ruang dan waktu, melenceng dari garis takdir yang telah tercipta. Terlalu riskan!”

Tiba-tiba terdapat suara yang berteriak dari kejauhan. Dia tidak menyebutkan namanya, tapi sepertinya sebutan antar nama dewa tidak penting lagi ketika hampir mayoritas tidak menyetujui hal ini.

“Maka itu saudara-saudara. Masa kita hanya di masa kini, hanya penyihir media kita untuk berkomunikasi langsung dengan dunia ini, setelah itu manusia dengan mudahnya memanipulasi alam. Lalu kalian harus ketahui bahwa dampak yang kita lakukan lewat penyihir nyatanya tidak mengubah apapun, hanya rutinitas manusia yang bahkan kita lepas tangan saja akan tetap terjadi! Karenanya..”

“Aku setuju dengan dewa materi..”

Tiba-tiba suara yang lebih hebat lagi keluar dari langit-langit. Sosok tersebut menyerupai gagak yang sangat besar, mendarat di hadapan kita, bukan di antara mereka yang berada di kursi. Matanya merah bersinar di antara kegelapan, gerakannya yang mendekati kita meninggalkan jalur pada cahaya seperti kunang-kunang yang bergerak. Seketika cahaya menyorotnya, dia terlihat membawa sosok manusia di belakangnya seperti dewa materi yang membawaku.

“Selamat datang Dewa kebinatangan, kupikir aku telah menyediakan tempat duduk untukmu. Maafkan diriku yang meninggalkan rapat tanpamu, mereka sudah tidak sabar..”

“Tidak perlu. Aku juga membawa kabar penting, sama pentingnya dengan perihal dirimu. Aku bertemu dengan anomali lain.”

Semuanya ramai oleh ucapannya, akupun kaget. Bagaimana bisa? Jadi bukan hanya diriku yang kembali ke masa lalu, kekonyolan macam apa ini?

“Aku merasakan goncangan waktu, apa kalian tidak merasakannya? Padahal kita terlepas dari dimensi waktu, tapi sesuatu telah berubah tanpa kita sadari. Dunia baru, bukan, tepatnya kenyataan baru telah tercipta.”

Dewa kebinatangan berbicara, tidak menjelaskan siapa anomali tersebut. Namun jelas, dia berusaha menjelaskan sesuatu tentang peristiwa yang menyebabkan anomali tersebut, kejanggalan yang bahkan dewa materi tidak mengetahuinya ketika pertama kali bertemu denganku. Lalu tentang dunia baru ataupun kenyataan adalah topik yang berada di luar nalarku, seperti ucapan goncangan waktunya yang terdengar asing.

“Maksudmu apa dewa kebinatangan?! Bukankah yang demikian tidak mungkin terjadi!”

Lagi-lagi suara yang tidak menyebutkan dirinya muncul, memotong penjelasan dewa kebinatangan.

“Diam!”

Suaranya menggelegar menggetarkan lantai seperti terdapat gempa kecil yang baru saja terjadi. Telingaku bisa saja pecah saat itu, namun dewa materi memegangi telingaku. Tangannya berubah menjadi sesuatu yang sejuk, walau sosoknya masih serupa api di mataku.

“Em, Lushan. Aku berkata bahwa hampir semua elemen adalah zatku bukan? Dewa kebinatangan adalah sifat yang keluar dari batas elemenku, dia adalah perkembangan dari elemen pertangahan[Est5] , elemen akhir. Jika saja aku kuat sebagai pondasi, maka dia yang paling berpengaruh sebagai bangunannya, atau mungkin dekorasinya, sesuatu yang lebih tampak dibandingkan pondasi itu sendiri. Hal ini menjelaskan kekuatannya yang memenuhi ruangan ini.”

Dia tidak berbicara padaku langsung, namun dalam pikiranku. Dia membuka komunikasi telepati padaku, suatu yang kuketahui tidak semua penyihir mampu melakukannya, menandakan elemennya juga berurusan dengan hal tersebut.

Ketika itu dewa kebinatangan masih mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya ia ingin ucapkan.

“Aku awalnya tidak memahami ini, sampai akhirnya aku mendapati sumber kekuatan tersebut, suatu fragmen yang mampu memberikan kekuatan besar pada manusia, dia juga memiliki tulisan mantra yang mampu membawa jiwa pergi menuju dunia lain ketika sosok di dekatnya sudah mendekati ajal. Aku tidak bisa menyentuhnya, bahkan terlalu silau untuk kulihat, membuatku harus menjelma menjadi sosok hewan karenanya. Lalu aku bertemu dengan manusia ini..”

Wanita tersebut keluar dari belakang tubuh yang menyerupai gagak tersebut. Wajahnya menunjukan ia masih remaja, rambutnya pendek bergelombang, dan matanya biru bersinar dengan tatapan yang begitu tajam. Terdapat simbol mutiara hitam di lehernya, namun tertutupi oleh gaun formal yang ia kenakan.

“Dia adalah muridku, dan bukan hanya sekedar kontrak, aku mengajarinya apapun yang telah kuketahui. Aku bertemu dengannya oleh jalinan takdir yang unik, dan kugunakan dirinya dengan menempelkan ingatanku. Ketika dia mengulang waktu, diriku di waktu yang berbeda menyadari apa yang telah kupelajari di masa depan, dan selebihnya memoriku yang menyatu dengan gadis ini yang membuatku memahami ingatan visual gadis ini.”

Dewa kebinatangan menahan ucapannya, seakan mengambil nafas untuk mengucapkan kalimat terakhirnya yang merupakan pamungkas dari segala penjelasannya.

“Terdapat dalang dari semua sosok anomali yang muncul. Sosok misterius, asing, dan tak pernah kusaksikan dengan kekuatan yang luar biasa.”

Dalang? Aku teringat sosok yang tak mampu kudeskripsikan, muka mosaik, baju yang aneh, berbicara bagai pelawak menceritakan sejarah yang kusut kepadaku.

“Jika dia memiliki kekuatan seperti itu, bukankah dia seperti kita? Sosok dewa?”

“Aku akan mengirim memori gadis ini pada kalian semua, bersiap lah.”

Suatu cahaya pelangi berbentuk lingkaran muncul di kepala dewa kebinatangan. Cahaya tersebut seperti meledak, terang sekali seperti melihat kembang api, bedanya jarak kembang api dengan mataku begitu dekat hingga membutakanku untuk beberapa menit. Di kegelapan tersebut ruangan begitu ramai, beberapa di antaranya meronta.

“Aku tak sanggup, keluarkan memori ini!!”

“Siapa dia, kenapa rasanya sakit sekali ketika memandang wajahnya?”

Kebanyakan dari mereka meminta memori tersebut di keluarkan, dan di antaranya kebingungan mencerna apa yang mereka pikirkan. Lama-lama keramaian berubah ketopik lain, aku kini melihat para dewa menatapku dimana cahaya mata mereka keluar walau kegelapan menyertai mereka.

“Pertama kali aku melihat memori ini, diriku merasa tersiksa oleh ingatan misterius anak didikmu wahai dewa kebinatangan. Tapi aku menyadari sesuatu yang menarik, sangat menarik. Jadi ini yang sesungguhnya terjadi, bukankah kondisi ini sangat menguntungkanmu wahai dewa kebinatangan.”

Apa yang ia maksud? Lalu ada apa dengan tatapan mengerikan ini? Dewa materi memegang pundakku, aku merasakan rasa aneh dengan perilakunya. Gadis itu tersenyum, senyumnya aneh, aku merasa ngeri oleh senyum tersebut.

“Ya, aku mengetahui bahwa terdapat tiga anomali yang terjadi. Pertama adalah anak yang berkontrak denganmu wahai dewa materi, lalu terdapat anomali kedua, dan anomali ketiga yang terjadi secara serentak. Kondisi ini menciptakan percabangan peristiwa, suatu peristiwa yang sangat menarik. Dalam percabangan terakhir, anak ini memegang anomali keempat, kendali penuh atas yang nyata.”

Aku tak mengerti maksudnya, namun dia sedang membicarakan adanya sosok sepertiku setelah kematianku, dan sosok gadis di depanku adalah eksistensi yang istimewa.

“Lalu demi mencegah adanya anomali lebih lanjut, aku menghancurkan segala fragmen yang ada. Karenanya kini aku yang memegang kendali, kalian mengerti soal ini bukan?”

Dewa materi menjawab, suaranya terdengar tidak nyaman saat ingin menjawabnya.

“Kau yang menguasai permainan dewa kebinatangan.”

Apa maksudnya? Mengapa gadis tersebut tertawa melihatku? Ya, dia selama ini tertawa di belakang tubuh gagak tersebut.

“Berarti aku cukup membunuh gadis di sebelahmu bukan?”

Dewa materi terdengar serius, jarinya menunjuk pada gadis tersebut. Sang dewa kebinatangan menutupi badan gadis tersebut dengan sayapnya.

“Ya, tapi aku menawarkan sesuatu yang lebih menarik lagi padamu, sesuatu yang terucap dari muridku yang satu ini ketika pikiran kami bersatu. Tahun kebinatangan, bagaimana kedengarannya? Aku akan mempercepatnya sekarang.”

Tiba-tiba tangan dewa materi bergetar, meremas pundakku keras. Isi ruangan begitu ramai menyoraki secara positif, seakan permainan ataupun festival akan segera dimulai. Disini mungkin hanya aku saja yang bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

“Lushan.. kau pasti kebingungan. Aku akan menjelaskan padamu di ruang lain secara privasi selagi mereka bersorak gembira atas bencana yang akan terjadi.”

Bencana?

Dewa materi menutup mataku dengan kedua tangannya, dan kita berpindah ke tempat lain.

***

“Ini buruk, buruk sekali.” Ucapnya panik.

Ruangan yang kita duduki sekarang berbeda, warnanya merah, merah darah. Di sekeliling kami terdapat banyak gambar bergerak, batu yang jatuh dari langit, menara setinggi langit yang runtuh, air yang menghancurkan gedung dan menenggelamkan seluruh daratan, ledakan besar dari gunung yang menembus langit dimana awannya menutupi bumi, dan sebagainya. Dia berjalan memutar memegangi kepalanya seperti orang kebingungan dan panik. Ketika itu dia menyuruhku mengamati gambar-gambar tersebut.

“Mengerikan bukan?” Dia bertanya, nadanya sangat serius, tidak ada suara canda dari mulutnya.

“Ya, sangat mengerikan..”

Aku takut untuk memulai pertanyaan padanya karena tidak benar-benar memahami situasi ini, tapi setelah kutelan ludahku, aku memutuskan untuk bertanya.

“Lalu?”

Dia tidak percaya menatapku. Api di kepalanya menyembul memenuhi atap, ia panik.

“Apa yang kau lihat, semua ini, adalah hasil dari tahun kebinatangan!”

Aku mengamati tidak percaya, yang kulihat adalah bencana besar yang menghancurkan peradaban manusia, berkali-kali dan hanya menyisakan sedikit manusia karenanya. Bencana di gambar-gambar bergerak tersebut juga tidak melihatkan bencana lokal, melainkan seisi bumi yang terkena dampaknya.

“Dan kau akan segera menanggungnya Lushan.”

“Apa? Bagaimana bisa?”

Dia menunjuk kepalanya, dia berbicara soal memori tersebut.

“Hal yang akan terjadi nanti, semuanya adalah hasil perbuatanmu!”

Dia mendekatiku, marah. Aku melangkah mundur, ruangan ini menjadi terasa panas, dan merahnya semakin pekat.

Lalu aku teringat tawa gadis tersebut, tawanya yang membuat bulu kudukku berdiri, dan tatapannya yang mengerikan terhadapku. Mereka semua melihat memorinya, dan kini secara serentak setuju dengan tahun kebinatangan ini.

“Tunggu, ini semua ada kaitannya dengan memori gadis tersebut bukan? Bukankah ini idenya?”

“Tidak ada asap tanpa adanya api Lushan, gadis tersebut adalah produk dari kebencian yang kau lakukan.”

“Tunggu!”

Aku berteriak. Aku ingin berpikir sebelum diguncangi rasa bersalah, aku ingin mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Produk kebencian? Aku mengingat bagaimana ibu histeris ketakutan melihatku, aku mengingat perbuatanku di masa lalu, dan semuanya masuk akal. Gadis tersebut, dia anomali bukan? Berarti dia adalah korban dari tragedi yang kubuat, atau setidaknya atas namaku. Lalu syarat untuk kembali ke masa lalu adalah orang yang mendekati ajalnya, dan sekali lagi, mungkin semua itu juga adalah dampak dari perbuatanku.

Konklusi muncul di pikiranku, detailnya tidak penting, tapi dia datang untuk melakukan sesuatu padaku, sebagai karmaku.

Kini jutaan, tidak, bahkan miliaran manusia di seluruh bumi yang akan mati, semata-mata karena karma yang mengikutiku walau aku telah mengulang waktu. Kini aku bertanya kembali, untuk apa? Untuk apa aku kembali ke masa lalu jika saja hanya memperburuk keadaan!

“...”

Kini aku terdiam oleh keputusasaan dan waktu terus berjalan. Mungkin sebentar lagi sorak mereka selesai, dan aku hanya berpasrah diri bercampur dengan rasa bersalah, tidak akan mengubah fakta bahwa tahun kebinatangan ini akan tetap terjadi. Aku harus tenang untuk memahami atau setidaknya berpikir jernih untuk melihat harapan dari kondisi ini.

“Aku mengerti dewa, dan aku akan bertanggung jawab karenanya. Kini bisa kau jelaskan apa yang dimaksud dengan tahun kebinatangan?”

Dewa materi seperti menghembuskan nafasnya, lalu menariknya kuat-kuat. Dia seperti ingin menjelaskan sesuatu yang panjang dan berat untuk dikatakan.

“Tahun kebinatangan adalah tahun-tahun dimana dewa merasuki mahluk bumi, berkompetisi, saling bunuh membunuh untuk mengetahui siapa yang paling berpengaruh di dunia ini.”

Dewa-dewa saling berkompetisi?

“Maaf, kompetisi atas dasar apa?”

 “Pengaruh Lushan, rasa pengaruh itu relatif pikir dewa kebinatangan sebagai penggagas konsep ini. Dia berkata, sebagai dewa yang mengatur survivalbilitas, seleksi alam, evolusi, perang, dan sifat kebinatangan lainnya bahwa yang terkuat yang paling berpengaruh. Manusia ataupun binatang pada era purba akan mereka rasuki, dan pada masa ini, mereka memakai sistem kontrak dimana mereka hanya mewakilkan calon penyihir mereka, siapapun yang menang maka hastrat terdalamnya akan dikabulkan atas restu semua dewa.”

“Dan hastrat mereka menimbulkan kehancuran?”

“Kupikir ini ada kaitannya dengan tahun kegelapan bangsa manusia, sekaligus dampak psikologis dari ajang bantai membantai. Mereka yang mewakili tuhan tidak memiliki akal yang cukup sehat, sehingga hastrat yang tersisa hanyalah kehancuran semata.”

 Aku mulai menangkap konsep tahun kebinatangan, riskan, sangat riskan, namun ada satu hal yang tidak masuk akal. Satu hal yang seorang manusia sepertiku tidak mengerti tentang apa yang mereka lakukan.

“Jadi kau bilang dewa-dewa ingin saling menunjukan pengaruhnya atas dunia ini? Mengapa mereka melakukan itu? Aku tidak habis pikir tentang hal ini..”

Apinya padam seketika pertanyaan tersebut kukeluarkan, api biru tersebut menjadi merah padam, aku bisa melihat kesedihan dari dewa materi.

 “Untuk kebosanan Lushan, untuk kesenangan semata.”

“Kebosanan? Kesenangan semata!?”

Seketika emosi menggebu-gebu di dadaku. Darah melonjak ke kepalaku. Hidungku kempas-kempis, dan nafasku menjadi tidak teratur. Kebosanan? Alasan macam apa itu? Apakah dunia ini seperti taman bemain bagi mereka?

“Aku tak pernah ikut sesungguhnya, kau pasti sudah tahu karena apa. Mereka yang ikut akan tertular oleh hastrat dari dewa kebinatangan. Dari Satu juta tahun sekali hingga 500 tahun sekali, semakin cepat hal ini diselenggarakan karena setiap perubahan yang mereka lakukan menjadi candu tersendiri. Aku tentu saja yang hanya melihat tidak menyukai hal ini..”

Konyol..

Konyol sekali!

Kini aku mulai teringat ucapan anakku, mengapa mereka tidak mungkin menjadi tuhan, pernyataannya adalah jika saja memang mereka ada, maka mereka bukanlah tuhan. Sifat-sifat alam? Persetan. Aku mulai mengingat pernyataan anakku mengapa mereka tidak mungkin menjadi tuhan, mengapa kepercayaan ini menjadi terlihat ‘udik’ sekali kedengarannya bagi para filsuf dan pemuka agama. Aku hanya butuh beberapa pernyataan dari mereka untuk melengkapi pemikiranku saat ini. 

“Ah, sepertinya mereka sudah selesai. Lushan kita harus kembali.”

Ketika itu aku memberinya tanda pada tanganku, jari telunjuk, bahwa satu hal lagi yang ingin kubicarakan padanya namun sebelumnya aku perlu menenangkan diriku. Saat itu gigiku masih bergertak keras, sudah lama aku tidak semarah ini, rasanya aku ingin berteriak keras-keras hingga kepalaku meledak. Tapi aku ingat, yang harus kulakukan adalah bernafas kencang-kencang dan menghembusnya, aku harus bisa mengendalikan diriku sendiri.

“Apa yang kau ingin bicarakan Lushan?”

Aku mulai bisa menggerakan mulutku, badanku mulai rileks. Kutatap mata dewa materi dalam-dalam, kupikir aku tahu apa yang akan kulakukan.

“Apakah semua dewa sepertimu? Pemikiran yang mendalam dan kritis?”

“Setelah tahun kebinatangan, kupikir tidak. Kebanyakan dari mereka menjadi polos dan dipenuhi hastrat duniawi.”

Saat itu aku tahu bahwa hanya ini satu-satunya peluang yang kumiliki, setidaknya untuk mengurangi resiko yang tercipta

“Aku ingin bicara dewa materi, aku ingin berbicara dengan mereka semua.”

Lalu aku menjelaskan pada dewa materi soal pemikiran anakku, mencoba memvalidasi, sekaligus mengkoreksi dengan kenyataan yang ada di dunia ini. Ketika itu dewa materi mengangguk, berkata bahwa semua tersebut bisa jadi benar, dan keadaan ini mungkin saja bisa berubah. Namun dia menggelengkan kepalanya ketika itu, ia menaikan satu telunjuknya.

“Tapi kau berjanji satu hal padaku.”

Dia menatapku serius, seakan satu hal ini akan menjadi bencana besar untukku.

“Untuk menjelaskan dua point tersebut, dua point tersebut saja, tidak lebih.”

***

Kami kembali, ruangan sudah terlihat sepi. Mereka juga sepertinya sudah selesai membicarakan sesuatu ketika kami tidak ada.

“Dewa materi kau harus ikut. Kita sepakat bahwa kau boleh memakai segala elemen yang berkaitan denganmu, seperti diriku, api, aku merestui kau menggunakan kekuatanku seperti restuku padamu yang memakai elemenku untuk menggambarkan dirimu pada anak tersebut. Tentunya dengan aturan bahwa kau hanya boleh menggunakan hukum dasar dari segala rupa yang kau ambil. Ajarkan baik-baik pada anomali tersebut, kupikir jika dia bisa memanfaatkannya maka dia tidak akan kalah dari perwakilan dewa lainnya.”

Dewa api berbicara, dia seakan memberi kabar gembira pada dewa materi yang tidak pernah ikut dalam tahun kebinatangan ini, namun dewa materi tidak terlihat semangat. Aku menatapnya, dan dia mengangguk.

“Mohon maaf semuanya.”

Cahaya menyorotiku, membuatku menjadi puncak perhatian mereka.

“Anak ini ingin berbicara pada kalian semua.”

“Apa-apaan ini! Apa kau tahu apa yang akan kami perbuat padanya! Aku bersumpah, satu kata saja keluar dari mulut manusia tersebut maka..” Suaranya seperti halilintar, keras, penuh kemarahan. Tanpa mengenalkan dirinya, aku tahu bahwa dia dewa petir.

“Maka kau akan hilang dewa petir, termasuk dunia ini. Ini sumpahku pada kalian, jika saja kalian membunuh anak ini sebelum dia menyelesaikan ucapannya.”

“Cih!”

Dewa materi berucap serius, dan kini Dewa petir kehabisan kata-kata. Ruangan dipenuhi dengan bisikan, bertanya-tanya apa yang manusia ini katakan pada diri mereka semua.

Aku menelan ludahku, melonggarkan kerahku yang penuh dengan keringat grogi yang bercampur rasa amarah. Kesempatan ini harus kugunakan sebaik-baiknya, setidaknya mampu sedikit menggerakan hati mereka.

“Mohon maaf atas perlakuan hamba yang tidak sopan pada kalian yang maha atas elemen yang kalian wakili.” Aku berusaha mengolah kata-kataku, tapi tidak bisa, kepalaku terlalu penuh dengan ledakan-ledakan amarah. Aku tidak tahu kapan ledakan ini akan keluar dari mulutku.

Mereka semua terdiam menatapku. Jika saja ada anakku sekarang, dia tidak takkan percaya apa yang akan ayahnya ucapkan pada dewa-dewa ini. Kupikir dia akan sedikit bangga mungkin, karena kini diriku akan menggunakan pemikirannya.

“Kalian semua, kupikir bukanlah tuhan. Bahkan mungkin, kalian ada di bawah tingkatan manusia.”

“Cukup, aku lenyapkan dia dari muka bumi ini!”

Ya, aku dan mulutku. Aku lupa ketika berbicara, terdapat pembukaan, baru isi, dan penutup. Aku langsung ke konklusi, mereka pasti akan marah. Tapi tunggu sebentar, kujelaskan sekalipun hasilnya akan sama saja bukan?  Disini aku mulai bermain dengan pikiranku, dengan ini diriku menjadi lebih rileks untuk merangkai pikiranku lagi.

“Tidak aku yang akan menlenyapkannya, ku lepas kepalanya, kubiarkan dia hidup ketika mengetahui kepala kecilnya itu kulepaskan secara perlahan.”  Belum selesai kumerangkai kata-kataku, dewa lain berucap, kali ini tempramentalnya lebih tinggi.

Dewa materi menunjukan jarinya. Dia menyuruh mereka duduk di kursi mereka, dan mereka diam seribu bahasa ketika itu, lalu aku melanjutkan ucapanku,

“Pertama, aku baru mengetahui mengenai tahun kebinatangan. Kompetisi demi kebosanan kudengar. Apakah tuhan akan melakukan hal konyol seperti ini, demi kesenangan semata, adakah yang ingin merasionalitaskan apa yang kalian lakukan?”

“Aku akan bicara, biarkan aku turun dari kursiku dewa materi.”

“Baiklah..”

Dewa tersebut meloncat dari kursinya, dan ketika dia menjejakan kakinya ketanah, seketika segalanya berguncang. Dewa materi membisiku, dia adalah dewa bumi, kadang manusia bumi menyebutnya gaia, namun aku tidak peduli sama sekali mengenai namanya.

“Kau pikir apa yang kami lakukan konyol? Hastrat, kau pasti ingin mempertanyakan ini. Apa kau pikir manusia tidak konyol? Aku menyaksikan banyak perang, seperti dirimu yang kulihat dari memori gadis tadi, demi visi naifmu itu. Lalu aku pernah menyaksikan perang konyol lainnya, troya, kau tahu perang tersebut? Jutaan mati demi apa? Demi cemburunya sang raja! Lalu mau perang apalagi? Perang di masa depan, karena delusi sang pemimpin yang memusnahkan satu etnik diikuti oleh pengikutnya yang bodoh yang tertular delusi? Dan tidak banyak di antara mereka yang melakukannya hanya demi kejayaan, antara lain, kesenangan semata! Lalu apa salahnya, kami para dewa yang di atas dari diri kalian semua melakukan hal ini?”

“Ya, tentu saja. Aku bahkan merasa bodoh karenanya, merasa bodoh oleh siapapun yang melakukan hal tersebut.”

Dia tersenyum puas telah memberikan jawaban yang kusetujui, tapi dia sadar, aku telah membodohinya.

“Kau, tunggu.. Apa maksudmu bodoh?”

“Karena hastrat yang kau ucapkan adalah kebodohan manusia. Kau sudah bicara soal hastrat, terlalu duniawi. Untuk apa dewa memikirkan yang duniawi seperti itu? Hal duniawi sendiri bagi manusia adalah sifat yang rendah sekali, jika golongan manusia dikategorikan, yang memprioritaskan sifat ini berada dalam derajat yang sangat rendah, karena sifat duniawi keluar dari konteks akal. Maka tak salah bukan jika aku bisa mengatakan bahwa dewa memiliki posisi yang rendah dibandingkan manusia?”

“Oke, aku akan..”

“Tidak, cukup. Point kedua, konsep penciptaan, apakah yang kalian pikirkan soal ini?”

Dewa bumi ingin bicara, namun tiba-tiba muncul dewa lain. Angin berhembus kencang, rasanya diriku ingin melayang, tapi dewa materi dengan kekuatannya menahanku. Dia muncul dalam sosok naga.

“Kami adalah yang menciptakanmu, segala dari kami yang menyusun bumi, alam semesta, hukum-hukumnya.”

“Lalu, mengapa dari diri kalian takut pada dewa materi? Tunggu dulu, apa kalian benar-benar mengerti tentang konsep ini?”

Saat itu diriku merasakan aura panas dari mereka semua, rasanya seperti mereka mengutukku, ingin melemparkanku ke matahari. Bagaimana mungkin manusia konyol berbicara soal ini pada diri mereka. Aku sesungguhnya setuju jika saja ada pemikiran seperti tadi, karena aku bukanlah petapa dan sebagainya, tidak cocok sama sekali berbicara ini. Semua konsep yang kuucapkan tak lebih dari celotehan anakku, dan logikaku sebagai orang yang berakal. Tentu saja mereka bicara bahwa tuhan adalah di luar akal, sosok misterius yang tak tersentuh. Tapi aku tidak berbicara tuhan yang itu, aku berbicara tentang mereka semua.

“Bahwa dia yang mencipta tidak pernah tercipta, ayolah. Aku bahkan bertanya pada dewa materi, kalian semua memiliki awal pada ingatan kalian, awal kalian, ledakan maha dasyat yang menciptakan elemen kalian.

Satu ruangan berisik, disini aku bisa melihat bahwa mereka semua setuju akan hal ini, ingatan yang sama dari diri mereka semua. Sekali lagi, aku tidak mengerti tentang apa yang kuucapkan, ledakan besar, dan apapun itu kecuali semua itu memang benar merupakan pernyataan dari dewa materi.

“Ayo berpikir lagi, apa kalian yakin kalian tidak diciptakan. Begini, simpelnya, dewa materi bahkan hampir menyusun kalian semua, dan dia tidak begitu yakin bahwa dia benar-benar pencipta.”

Beruntung, dewa materi tidak tersinggung akan hal ini. Namun aku yakin, mereka semua kini berusaha menepis ide-ide yang kukeluarkan. Aku berani melakukan ini karena sekali lagi, hastrat, jiwa dan kesadaran mereka terlalu duniawi, manusiawi, polos. Ada sesuatu yang mereka tidak ketahui, mereka diciptakan oleh elemen sebelum mereka, mereka memiliki dasar, dan masing-masing dari mereka memiliki tujuan. Aku melihat kelemahan dari konsep ketuhanan dari diri mereka, yaitu konsep kemahaan itu sendiri.

“Maaf, kalian tidak maha sesuatu, jauh dari semua itu, bahkan jika dipikir-pikir lagi, ayolah, kalian tidak tahu akan dalang dibalik semua anomali ini, kalian tidak tahu bahwa kalian telah dipermainkan! Kalian tidak sempurna, akuilah.”

“Hahaha!!”

Dari kejauhan ada yang tertawa.

“Tapi kalian, manusia beserta mahluknya akan mati ketika kita melakukan sesuatu.”

Aku berusaha melawan kesalku, tingkah laku mereka bahkan tidak memperlihatkan kebijaksanaan sama sekali. Mengerikan, sungguh mengerikan.

“Bukan itu yang kumaksud. Kalian ada, karena suatu hal. Tolong pikirkan ucapanku tersebut. Takdir, barusan kau mengucapkannya dewa kebinatangan, takdir yang unik kalau tidak salah, aku mendengarnya, dan aku tahu yang kau maksud bukan kiasan semata. Aku tahu kenapa kalian tidak pernah lebih mengacau hingga menghancurkan alam semesta. Hal ini karena kalian mampu merasakan takdir kalian, dan kini karena sifat hastrat manusiawi yang tercampur aduk oleh diri kalian, kalian mulai bingung, seperti kami manusia. Kalian tanpa sadar merasa diri kalian diciptakan untuk mengkontrol kami, bukan untuk menjalankan tugas kalian yang sesungguhnya.”

“Omong kosong. Kau tahu apa yang kau ucapkan? Seakan kami melayani manusia, omong kosong!”

“Seperti seorang raja yang ingin menyenangi rakyatnya, dia tidak pernah lebih rendah dari rakyatnya. Tapi ketika dia semena-mena? Kupikir, tuhan bukan mahluk seperti itu. Bukan seperti kalian ini. Maka..”

Aku menghela nafas, kududukan kakiku memohon.

“Bijaksanalah. Lepaskan sifat duniawi kalian.. Maka hambamu ini akan berhenti bicara, tidak mempertanyakan eksistensi kalian lagi, tidak meragukan kedewaan kalian lagi.”

Salah satu dari para dewa berdiri, dewa yang menurut dewa materi sebagai sosok individu polos, banyak sekali yang berdiri saat itu.

“Bocah ini masuk akal juga. Jika kita menyebut diri kita dewa, mengapa kita bertingkah laku seperti mereka?”

Tiba-tiba satu suara keluar, keramaian muncul. Ketika itu tiba-tiba terdapat cahaya-cahaya muncul dari kursi-kursi.

“Bodoh, kau diperdaya oleh ucapan bocah?”

“Tidak, kita tidak sadar karena kita selalu dalam kondisi pengamat, mengambil kesimpulan seenaknya, tidak pernah diamati!”

Kondisi mulai ribut, aku bisa melihat percikan-percikan, seakan mereka ingin berperang. Saat itu dewa materi menghentakan kakinya, mengguncang seluruh kursi mereka, membuat mereka duduk kembali.

“Dewa bumi, angin, dan..”

Dewa materi terhenti ucapannya. Dia tidak mengucapkan dewa kebinatangan.

“Bisakah kalian kembali ke kursi kalian?”

“Baiklah.”

Ketika itu dia menepuk pundakku, tidak ada yang bisa kulakukan lebih dari ini karena aku berjanji padanya hanya dua point yang kukeluarkan, bahkan mungkin diriku telah melebihi kesepakatan yang kita sepakati barusan. Aku berpikir ancaman dewa materi bisa saja terwujud saat itu, ketika orasiku selesai, maka beberapa dewa akan mengutukku karena merasa tersinggung. Dua point ucapnya, karena dua point tersebut tidak cukup valid untuk menghukum manusia, setidaknya dalam budaya para dewa. Saat itu aku mulai belajar lagi bahwa terdapat budaya dalam komunitas para dewa.

“Jadi, untuk yang tidak menyutujui turnamen ini, tolong tinggalkan tempat ini. Aku tak ingin melihat perdebatan yang akan menganggu dunia.”

Banyak sinar muncul dari kursi, mereka melejit keluar ke langit. Hanya tersisa puluhan, dari yang tidak terhitung. Hal ini sesuai diskusi singkatku dengan dewa materi, bahwa mengurangi jumlah mereka berarti mengurangi restu mereka, dampak dari turnamen ini tidak akan sebesar dengan tahun kebinatangan pada umumnya, namun korban jiwa yang timbulpun bisa saja lebih parah dari apa yang selama ini telah kulakukan. Aku berjudi, dewa materipun berjudi, bahwa dengan ucapanku bisa menciptakan suasana ini, mengingat kepolosan para dewa dari dampak turnamen ini sebelumnya.

Tiba-tiba segala kursi mendekat, tempat ini menjadi sempit.

“Maafkan aku, Lushan, tapi turnamen tahun kebinatangan akan tetap terjadi.”

Dewa materi berbisik padaku lewat telepati.

“Tidak, ini lebih baik. Aku juga bisa bicara pemikiranku tentang mereka, dan aku harus memahami bahwa amarahku tidak cukup kuat untuk memberikan solusi. Aku harus memahami bahwa semua ini sudah terjadi, dan aku juga harus menerima dan memahami kalian, sehingga solusi ini tercipta.”

Dewa materi tersenyum menatapku.

“Karena itulah aku memilihmu Lushan, segala kejadian yang menimpamu melepaskanmu dari ikatan tak terlihat, amarah, cinta, dan rasa naif. Kau sudah belajar dari itu semua.”

Aku sedikit berterima kasih pada anakku, aku tidak benar-benar percaya bahwa pemikirannya yang kuanggap konyol bisa kuucapkan disini, memenangi argumen yang tidak pernah dilakukan manusia sebelumnya, berargumen dengan dewa. Mungkin saat dia menusukku dan mengacau, aku tidak benar-benar benci padanya, karena rasanya dia tidak benar-benar bersalah. Segala kenaifan tersebut rasanya termaafkan karena pemikirannya kini mungkin telah menyelamatkan setengah manusia di bumi ini.

“Baiklah.., tahun kebinatangan akan dimulai dalam waktu dekat, ditandai oleh munculnya wujud naga di seluruh dunia. Kalian semua silahkan memilih wakil yang akan kalian persembahkan dalam rentang waktu tersebut.”

Dewa kebinatangan berbicara, memutuskan turnamen ini, dan dewa-dewa lainnya mengangguk. Saat itu aku baru menyadari bahwa gadis yang berada di dekat dewa kebinatangan kini menatapku. Dia marah, murka tepatnya.

“Lushan..”

“...”

Aku hanya diam, dosa apa yang telah kuperbuat padanya adalah misteri. Mungkin aku akan bertanya pada dewa materi mengenai ingatannya, tapi aku tahu, segala yang telah kulakukan bisa saja menjadikan sosok ini ada. Aku telah berdosa, dan dia adalah karmaku.

“Lushan yang agung.. Pemimpin yang akan membebaskan rakyatnya dari rasa takut dari raja yang zalim.. Menjunjung kesetaraan.. Kekuasaan di atas tangan rakyat..”

Dia menyanyikan nyanyian kemenangan rakyat atas diriku dengan nada datar dan ekspresinya yang mengerikan. Tangannya setengah ia junjung.

“Lushan.. Pemimpin Zalim, pendusta, pembunuh.. Pembantai.. Penghancur..diktaktor.. Iblis..”

Dia menjunjung tangannya lagi, kini lebih tinggi seakan ucapan itu yang lebih tepat.

“Maafkan aku. Siapapun namamu, aku akan menebus ini semua..”

“Tidak, kau tidak mengerti.”

Dia tersenyum. Perubahan ekspresinya tidak terlihat normal.

“Kau tidak mengerti apapun Lushan, hadiahku padamu belum selesai.”

Aku bisa melihat dalam senyum yang ia keluarkan, dan terdapat kegilaan di dalamnya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar