Senin, 14 September 2015

Naqoyqatsi - Chapter 3

Roxanne Part 2
by Reza Pratama Nugraha

"Roxanna.."

Terbangun dari mimpiku, aku segera mengucapkan namanya. Mimpi tersebut menyadarkanku bahwa Roxanna masih hidup di masa ini.

Optimismeku muncul, dan hatiku dipenuhi oleh harapan. Bukankah seharusnya aku senang akan kenyataan ini? Bahwa aku masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan semuanya seperti Roxanna, kakak, ibu. Lalu untuk apa aku bersedih, depresi, dan bahkan meluapkan nafsu membunuhku kepada kakak ketika rasa paranoid hampir menelanku hidup-hidup karena rasa takut akan berubahnya nasib. Kebiasan pesimis dan paranoid yang telah kupupuk dulu hampir saja menghancurkan potensiku pada masa ini.

Dengan pengalamanku kini, ilmu-ilmu yang kudapatkan, bahkan akan semakin mudah untuk mendapatkan apa yang kuraih dulu, dan tentu saja, menyelamatkan semua yang tidak mampu kuselamatkan. Kini lihat, kakakku masih hidup, dan nasib ibu mungkin tidak akan seburuk di masa lalu, dan gilanya lagi, aku memiliki kemampuan sihir yang harus kulalui lewat peruntungan selama hidupku dulu. Jika demikian, apa buruknya kembali ke masa lalu di reruntuhan masaku yang penuh dengan perjudian antara kalah dan tidak, pada masa ini aku tidak perlu lagi berjudi bukan? Hanya perlu cari tahu jalan yang sudah kuketahui dulu.

...

Melihat kekiri dan kekanan, kini diriku terbaring dalam kasur dengan bebauan rempah-rempah yang dibakar untuk pengobatan, jelas bahwa kini aku berada dalam ruangan tabib dikediaman An Yanyan.

Ketika menengok, baru tersadar bahwa Balthiq berada disebelahku tertidur. Selagi itu, selain leherku, badanku tidak bisa digerakan sama sekali, mungkin karena dengan cerobohnya diriku menggunakan sihir dengan badan yang lemah ini. Pengetahuanku dulu, sihir menggunakan roh atau jiwa yang memberikan energi untuk menggerakan raga, dan bumi mengembalikan kekuatan tersebut. Akibatnya ketika menggunakan sihir dengan jiwa yang tidak dilatih nyatanya memang akan memakan jiwa pemakainya.

Tentu saja  permasalahannya utamanya kini bukan itu, tapi bagaimana seorang pria mampu menggunakan sihir.

"Lushan?".

Balthiq membuka matanya, dan dia sadar bahwa diriku telah terbangun. Kini dia memandangiku dengan mata serius namun seperti orang yang lelah. Terasa aneh ketika rambut keritingnya yang telah ditata rapih oleh ibu kini kembali berantakan.

Melihat kakak yang berperilaku aneh, aku mencoba merespon kata-katanya, yang penuh dengan rasa bingung, khawatir, dan tidak percaya. Apa yang dia tidak percaya pikirku?

"Kakak.."

Kita saling memandang diam.  Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan pada Balthiq, dan tentu saja hal yang harus kupikirkan adalah bagaimana cara menjelaskan pembantaian yang adiknya lakukan didepan matanya sendiri, adiknya yang yang baru saja berumur 14 tahun tanpa pengalaman bertarung sama sekali, dan keajaiban yang kulakukan dengan menggunakan sihir, tentunya akan sangat gila bahwa kejadian aneh tersebut terjadi dalam satu momen yag sama.

Aku ingat ketika ibu menteriaki diriku iblis, satu-satunya penjelasan logis disini adalah diriku yang terasuki iblis. Pertanyaan sesungguhnya adalah bagaimana Balthiq mengawali obrolan ini.

"Kau Lushan bukan?".

Lucu, aku tersenyum sambil tertawa kecil mendengar pertanyaannya, tentu saja ia akan menanyakan hal tersebut.

Yang lucunya adalah bagaimana jika aku bukan Lushan? Aku akan menjawab 'tidak' begitu? Lagipula mana ada pencuri yang berkata dirinya pencuri, sebagaimana iblis yang sukses merasuki manusia, dia tidak akan mengaku dirinya iblis.

"Tentu saja kakak..aku Lushan.

"..."

"Ah, tentu kakak tidak percaya? Aku harus berkata apa untuk kakak percaya bahwa adikmu ini adalah Lushan?"

"Kau tak perlu berucap, dan aku tahu, kau bukan Lushan yang aku tahu. Matamu itu.. seperti.."

Kakak tidak melanjutkan omongannya. Dia menatap kebawah, bahwa dia meragukan apa yang ingin ia katakan.

“Seperti?”

“Orang mati..”

Kakak menjawabnya dengan jawaban yang akhirnya ia rasakan paling cocok mengenai apa yang ia pikirkan. Dia menatapku dengan mantap, mencoba meyakinkanku bahwa walau dia ragu sebelumnya, kini dia berkata sungguh-sungguh dan mencoba menerka reaksiku dari omongannya tersebut.

Ketika ia berkata soal mata, aku kembali mengingat Roxanna, dulu ia pernah berucap bahwa mata adalah refleksi jiwa yang menunjukan perjalanan hidup seseorang. Mataku kini mungkin sangat mengerikan baginya, dan mata seperti apa yang dimiliki Lushan muda? Mata yang penuh harapan? Mata yang penuh dengan kepolosan?

"Ibu.. dia melakukan ritual dan berkata bahwa kau tidak kerasukan apapun. Tapi.. matamu kini, bukan mata adikku, dan aku takkan percaya bahwa kau mampu membunuh orang dengan.."

"Dengan apa? Aku melindungi kalian bukan?"

Tiba-tiba ucapan tersebut keluar. Mengetahui bahwa hal rasional mengenai diriku yang kerasukan otomatis ditolak, kurasa aku harus menerima bahwa semua itu adalah hal yang kulakukan, dan adalah hal yang memang cukup rasional untuk dilakukan.

"Lushan..kau berumur 14 tahun.."

"Tunggu, para bandit disana kau pikir berumur berapa? Bahkan ada yang berumur 8 tahun dan mungkin dibawah umur tersebut, dan kau tidak akan percaya berapa pria yang sudah ia penggal.."

"Jangan memotong jika kakakmu sedang bicara! Begini, kau tidak pernah sekalipun berlatih pedang dan bertarung, dan aku baru saja melihatmu bertarung dengan pria besar, mengalahkannya bagai pendekar di dongeng-dongeng.. Lalu parahnya lagi.. kau baru saja menggunakan sihir Lushan, siapa yang bisa percaya setelah melihat hal tersebut?"

Aku terdiam ketika kakak bertanya dengan tatapannya yang serius, seakan tidak berkedip menganalisa mataku hingga bulu kudukku berdiri. Sadar akan hal itu, aku tidak mampu membalas tatapan matanya hingga ku sampingkan tatapanku. Tidak mungkin bisa kujelaskan tentang masa depan, kembali ke masa lalu, itu gila.

"Lushan, kau baru saja membunuh orang.. banyak sekali hingga aku pikir tidak mungkin seorang yang baru saja melakukannya tidak kehilangan akal sehatnya.. Tidakkah kau merasa berdosa?"

Suara kakak mulai bergetar sambil mengucapkan hal tersebut, dan kini aku merasa konyol. Dosa? Dosa apa? Betapa munafiknya dia berkata demikian?

Mukaku memerah, dan jika ku metaforakan, panas hingga isi otakku menguap. Emosi yang memuncak-muncak ini membuatku ingin berteriak sekencang mungkin ketelinganya langsung hingga ia sadar apa yang baru saja ia ucapkan.

"Hei!! Jangan bercanda!!"

Kakak menutup mulutnya kaget dan tangisnya yang tidak tertahankan keluar. Aku ingat bahwa kakak adalah tipe orang yang akan segera menangis ketika seorang membentaknya.

Saat itu diriku berteriak sungguh kencang dan dengan nada yang cukup berat hingga dia pasti tidak sadar bahwa aku yang baru saja berteriak padanya. Segera kupaparkan ucapan yang bahkan tidak kupikirkan terlebih dahulu, ucapan penuh emosi, dan amarah atas pemikiran munafik dan naif yang baru saja kudengar.

“Dosa apa Balthiq, Dosa apa yang telah kuperbuat setelah aku menyelamatkan kalian semua?! Apa kau pikir mereka akan melepaskan kita begitu saja jika aku berbicara dengannya, dan apa kau pikir mereka akan membunuh kita begitu saja tanpa menyiksa kalian terlebih dahulu, kesempatan untuk menyicipi kedua wanita bangsawan yang tak pernah mereka bisa lakukan di kehidupan rendah mereka? Kau tahu apa maksudku bukan?”

"Tidak, lebih parahnya lagi.. sebelum mereka melakukan itu, kau dan ibu akan diperkosa terlebih dahulu dan memaksaku yang tidak berdaya untuk menontonnya hingga mereka puas. Ah, bahkan kau tidak mungkin tahu akan kebiasaan mereka dalam meminum darah kita untuk tidak gila atas perbuatan mereka.. bangsa bar-bar seperti mereka.."

"Lushan!!"

Tiba-tiba ibu masuk membanting pintu yang pasti menyadari teriakanku, dan kini pasti sama terkagetnya oleh Balthiq yang kini menangis menjauhi diriku dengan rasa takut di matanya, seakan dia baru saja menatap seorang iblis, pembunuh keji yang mengancam dirinya. Ibu yang melihat dan mendengar hal tersebut segera menjauhi Balthiq dariku, lalu menatapku tidak percaya.

“Ibu, Lushan baru saja mengucapkan hal mengerikan padaku..”

“Masih tidak percaya apa yang kuucapkan barusan? Apa harus kutampar dulu hingga bisa kau pakai otak yang ada dikepalamu itu!”

“Lushan, kini kau sudah keterlaluan! Balthiq cepat kau pergi dari sini, dan rias dirimu. Aku akan berbicara dengan adikmu dulu.”

Balthiq segera dibawa pergi oleh pelayan yang menemani ibu sambil menangis. Ketika itu ibu menatapku marah, dan duduk sambil menghela nafas. Dia pasti juga bingung ingin berkata apa pada anaknya yang satu ini.

Jangan salahkan jika aku mengatakan ini, prespektif yang konyol tentang bagaimana membunuh seperti perbuatan yang begitu tercela, melawan batas norma, dan adiknya yang polos tidak mungkin akan melakukan kegiatan tercela seperti ini walau orang-orang didekatnya dan dirinya sendiri didalam kondisi berbahaya. Diriku seakan ingin berteriak betapa bodoh dirinya.. Tidak tau kondisi atau entahlah, tak bisakah ia sedikit menggeser logikanya bahwa adiknya melakukan hal tersebut untuk menyelamatkan kakak dan ibunya? Tak bisakah ia mentolerir hal tersebut?!

Lalu, Balthiq, kau seharusnya mati saat itu..

“...”

Kini ibu duduk dihadapanku, dan berdiam seperti apa yang Balthiq lakukan.

“Apa yang salah denganmu Lushan? Kau buat ibumu ini pusing..”

Ibu berdiri dari kursi dan mengambil beberapa ramuan di meja dekat kasurku.

"Apa kau bangga dengan apa yang telah kau lakukan? Menyelamatkan diriku dan adikmu?"

Ibu mengajakku berbicara sambil meracik ramuan didepannya.

"Entah.. Tapi balthiq.. maksudku kakak, aku sangat kesal ketika ia begitu munafik berkata bahwa apa yang kulakukan salah. Kau pasti tahu bahwa ada yang namnya konsekuensi, dan inilah yang terjadi di dunia ini, dan pada momen itu juga, bunuh atau dibunuh. Dalam kondisi itu siapa yang bisa disalahkan?"

“Konsenkuensi? Apa kau belajar kata-kata dewasa tersebut dari bukumu?”

Ibu memegang kepalanya, memeriksa apakah dia yang sinting atau anaknya? Ah, dia pasti mengerti benar apa yang kukatakan, lagipula penyihir ini sudah bertanggung jawab atas kematian jutaan manusia, dan karenanya aku berani berbicara seperti ini.

"Aku mengerti apa yang kau katakan Lushan.. Tapi aku juga mengerti apa yang kakakmu rasakan. Aku.. aku tidak akan berkomentar tentang apa yang terjadi padamu, hingga diriku meneriakimu iblis, aku takkan berkomentar lebih dari itu. Aku baru saja merawat kalian pasca kematian suamiku, dan mungkin aku belum mengenalmu Lushan.. Tapi sihir yang kau lakukan.."

Keresahan ibu pasti terletak pada sihir yang kugunakan. Sihir yang mengerikan hingga matahari terlihat gelap, darah mereka terhisap keluar dari tubuh, kemudian membusuk gelap seperti terkena wabah penyakit. Aku tidak pernah memperlajari sihir tersebut, dan hanya menirukan apa yang ibu lakukan dengan spontan.

"Apa yang telah terjadi padamu lushan? Apakah dosa yang telah kau lakukan sehingga kau mendapati sihir tersebut?"

"Apa maksudmu ibu? Aku.."

"Kenapa kau bisa bertanggung jawab atas matinya jutaan manusia?"

Ibu menatapku dengan tatapan depresinya, dia kemudian meminum araknya yang ia sembunyikan di balik bajunya seakan luka lamanya terbuka lagi. Aku tahu saat itu, sihir yang kulakukan hanya bisa dilakukan oleh manusia yang bertanggung jawab atas kematian jutaan orang, termasuk aku dan ibuku.

***

Sebelumnya setelah pembicaraan di kamar, ibu memberikanku ramuan yang mampu membuatku kembali berjalan, setidaknya untuk ikut menemaninya dalam upacara pernikahan ini.

An Yanyan menunggu di depan pintu tempatku beristirahat dan hanya menatapku saat itu, tidak ada senyum di matanya walau aku baru saja menyelamatkan calon istrinya. Sudah lama aku mengetahui bahwa kami hanyalah obyek dalam perpolitikannya di kerajaan, kekuatan yang belum terjamah walau mampu mengotori darah kebangsawanannya, dia ingin dipercayai tanah yang lebih besar dari ini. Kusimpulkan saat itu bahwa peristiwa penyerangan ini  mungkin direncanakan olehnya untuk menunjukan kekuatan ibu sebagai seorang penyihir, dan bocah kecil ini baru saja menggagalkan rencananya, menjadikannya rumor belaka yang tidak begitu berharga baginya dan semua itu mampu kusimpulkan hanya dari raut mukanya.

Tapi entah mengapa, aku yang dulu selalu mengutuk dirinya kini malah mewajari sifat licik tersebut, dan mewajarinya karena dirinya sebagai bangsawan dalam kondisi kritis indentitas di tanah yang sama kritisnya pula, bahkan semuanya pun tahu bahwa semua peristiwa ini adalah tindakan konyolnya.

Lagipula, di masa depan dia akan mati, dan aku ragu akan An Yanyan sebagai pria yang layak untuk  kuselamatkan pada masa ini.

...

"Puji tuhan, dewa-dewa, atas pengantin yang naik dalam pelaminan. Semoga diberi umur panjang, semoga diberi keberkahan.."

Doa diberikan oleh pendeta sembari mengetukkan dupa. Orang-orang melihat kedua pengantin tersebut dari kejauhan, ibu, dan An yanyan, sedangkan anak-anaknya duduk di sebelah mereka, di kiri untuk kami dari sisi sang ibu, dan kanan dari sisi An Yanyan. Saat itu kakak masih tidak mau melihatku, matanya dan kepalanya seakan berlainan arah dengan diriku, dan aku tahu bahwa perkataanku pasti sudah melukai hatinya.

Kini kita duduk di tempat seremonial, panggung pernikahan yang merupakan gedung tersendiri di tempat kediaman An Yanyan. Tempat ini megah, segala budaya bersatu dari timur tengah, barat, dan semacamnya. Tanah Tujue ini memang merupakan pusat perdagangan dengan pelabuhan besar di sisi selatan walau gersang di dalamnya. Walau demikian posisi strategis ini hanya menguntungkan kaum modal, ningrat, dan tidak ada untungnya bagi kaum plotelar, para pekerja buruh ataupun petani yang hidup di tanah gersang ini, mereka para ningrat tersebut tidak membagikan kekayaan mereka, sehingga hidup miskin merupakan nasib yang tidak terelakkan bagi mereka. Wajar saja suatu saat nanti pembrontakan akan terjadi, siapa saja akan gila jika kelaparan sambil meratapi orang-orang diatasnya makan dari hasil kerja mereka dan masyarakat akan menang walau akan ditekan kembali oleh pemerintahan.

Saat itu anak An Yanyan, kalau tidak salah An Qiao dan An Xian, wanita kembar asal mantan istrinya yang meninggal menatap kita dengan tatapan yang penuh dengan rasa ingin tahu. An Qiao, kalau tidak salah, mengikat rambutnya seperti bola di antara keduanya sedangkan kakaknya An Xian bertampilan dewasa dengan rambut yang di jepit oleh tusuk naga khas keluarga bangsawan. Walau demikian muka mereka terlihat sama, begitu pula baju mereka sehingga satu-satunya pembeda di antara mereka adalah rambut tersebut. Walau begitu, aku tidak pernah ingat ataupun sempat bersosialisasi dengan mereka tempo dulu karena pernikahan yang dibatalkan,  dan aku yang segera pergi menuju akademi diikuti polemik pembrontakan masyarakat yang membantai keluarga An Yanyan. Kupikir mereka juga terbunuh, dan melihat mereka kini hidup dan baik-baik saja membuat perasaanku aneh.

"Lushan.."

Tiba-tiba saja kakak sudah mulai bicara padaku, saat itu juga tetapi doa sudah selesai dan upacara pernikahan selesai. Ibu sudah resmi menikah dengan An Yanyan, dan An Yanyan memberi ucapan sambutan. Ketika Kakak menatapku dengan penuh arti seperti ingin mengeluarkan segala gundah hatinya, An Yanyan menyebutku dalam ucapan sambutannya.

"Aku sungguh berterima kasih atas An Lushan, dia sesungguhnya pahlawan pada hari ini, tepatnya ketika para bandit menyerang calon istriku, dan putrinya. Dengan berani, demi keluarganya, dia menyelamatkan mereka dari tangan kotor bandit, sendirian."

Semua mulai berbisik, mungkin tidak percaya, tapi berita ini seharusnya sudah menyebar di antara mereka sebelum An Yanyan mengumumkannya, mengingat telinga-telinga jahil mereka yang senang mendengar apapun berita yang mampu merendahkan saingan mereka. Mereka tentu saja berpikir bagaimana seorang anak kecil sepertiku melawan bandit-bandit yang berbadan besar, garang, berpengalaman dalam membunuh. Badanku sangat kecil, seperti umur 11-12 walau sesungguhnya sudah berumur 14 tahun, waktu yang cukup untuk di jadikan buruh kerja. Mengangkat benda-benda saja tidak mampu, pedang juga terlihat cukup berat baginya, apalagi menahan terjangan pedang dari orang-orang yang menyerangnya.

Perhatian mereka tentu saja pada ibuku, seorang ketua penyihir dari liga penyihir kerajaan. Cerita horror mengenai dirinya sudah tersebar, dan tersohor sekali. Bagaimana ibu membantai ribuan musuh seperti menyebarkan hama penyakit, menyebabkan tubuh mereka hitam membusuk dan menyebar oleh tikus-tikus, dan bagaimana ibu bisa meledakkan satu istana jika saja sang tuan rumah masih saja keras kepala untuk menyerah. Dua kemungkinan adalah anak sang penyihir ini sakti, atau dia yang memegang kendali, namun rendah hati memberikan segala kehormatan kepada anaknya.

"Kaisar telah tiba!!"

Tiba-tiba dalam kata-kata penyambutan tersebut, pintu dibuka disambar oleh pasukan-pasukan elit berzirah emas saling memegang tombak berbaris di antara pintu membuka jalan seorang Kaisar dengan jubah panjang, dan jenggot panjangnya itu. Semuanya menunduk, An Yanyan yang masih di atas memberi penyambutan juga, dan aku pun demikian. Sang kaisar masuk dengan seorang memegang jubahnya, berjalan dengan penuh tata etika raja, kalian takkan melihat siapapun berjalan seperti ini di kehidupan sehari-hari, dan saat aku telah menjadi raja tak pernah kuikuti tata etika itu, terlalu aneh untukku. Tapi melihat tampang kaisar, hasil dari pemuliaan marga, memang menunjukan perbedaan berbeda dengan tampang-tampang seperti kami, dia cocok dengan cara berjalan itu karena dia merasa atu semua merasa bahwa dia lebih mulia dibandingkan kita. Karena itu pula, tak ada satupun yang berani-beraninya bertatapan langsung dengan beliau,  itu lah etika yang sudah di tetapkan tanpa tertulis dan kita semua secara insting akan segera menunduk di hadapannya atau bahkan bersujud bagai bertemu tuhan.

"An Yanyan, bangunlah saudaraku."

An Yanyan bangun, tetap ia tidak menatap matanya. Sang kaisar memegang pundaknya menyuruhnya berdiri tegap, memalukan bagi bangsawan untuk berdiri bungkuk seperti orang tua, walau hal itu merupakan bentuk tunduk terhadap sang kaisar.

"Aku bangga padamu An Yanyan, tidak pernah berubah, berani dan riskan seperti Ayahmu. Dulu ia mengambil tanah ini, tanah yang sedikit untung baginya, namun krusial untuk kerajaan. Sekarang anaknya, menikahi seorang keturunan bar-bar, demi suatu yang sungguh suci melawan kebiasaan kuno yang terbentuk."

Kata-katanya seperti sindaran tajam untuk An Yanyan, sehingga An Yanyan berkeringat takut mengejek kebangsawaan kaisar, namun aku tahu bahwa kaisar benar-benar memujinya karena dirinya sendiri diam-diam memiliki kekasih gelap bersama banyak suku bar-bar. Mungkin demi tujuan sihir, politik, dan sebagainya, tapi segala tetek bengek budaya yang membatasi kotornya darah bagi mereka kupikir terdapat sedikit bentuk cinta didalamnya. Sedangkan kaisar memuji, ataupun tidak, para pengunjung dari kalangan bangsawan, pedagang, karabat dekat yang menunduk tentunya tidak tahan untuk saling membisik, bergosip, berkata hal-hal yang menjatuhkan sehingga telinga kaisar sendiri pasti mulai mendengar desis-desis keramaian. Melihat ini, sang kaisar menatapku sebagai pengalih topic.

"Kudengar anakmu menjadi pahlawan hari ini. An Lushan? Bisakah kau bangun, aku ingin melihat seorang yang mampu membunuh puluhan bandit sendirian."

Aku berdiri, dan kutatap Kaisar. Ah, tidak sopan, kebiasaanku dulu sebagai tangan kanan kaisar bahkan menjadi raja sendiri membuat spontanitas ini muncul, An Yanyan sendiri melototiku sambil basah dengan keringatnya sendiri atas perilakuku. Segera kutundukan mukaku, namun kaisar memegang daguku, membuatku terpaksa menatapnya.

"Badanmu kecil, tapi matamu tidak. Mata tangguh yang jarang kulihat, mata seorang petarung pintar.. mata seorang yang mampu membunuh. Pertama kali kupikir ibumu yang melakukannya, tapi mataku tak pernah salah menilai, kau lah yang memang membunuh puluhan bandit. An Yanyan!"

"Kaisar.."

An Yanyan kaget mendengar namanya di panggil dengan nada yang tinggi. Sedangkan saat itu, desis keramaian makin parah sehingga pasukan terpaksa menghentakan kakinya sehingga kondisi kembali tenang.

"Anakmu ini, aku ingin dirinya masuk dalam akademi khususku. Sesungguhnya baru pertama kali kulihat mata setangguh ini dalam umur-umurnya. Aku tidak bisa membiarkan sebuah permata tidak terpoles dengan baik."

An Yanyan tersenyum, seperti sebuah letupan hati meledak-ledak. Sepertinya diriku sedikit meninggikan namanya di mata Kaisar. Saat itu kaisar tersenyum padaku, dan memegang kepalaku seakan hal itu merupakan kehormatan tertinggi bagiku. Sedangkan saat itu, tatapan ibu maupun kakak terlihat aneh, sedih, seakan pengakuan itu tak berhak bagiku yang bukanlah keluarga mereka, menurut mereka mungkin.

"Baiklah, maafkan aku yang menyela kata-kata penyambutanmu. Maafkan juga karena aku tidak bisa berlama-lama. Semoga keluarga ini dipenuhi keberkahan berlimpah."

Kaisar segera pergi meninggalkan tempat pernikahan, dan tentara mundur dari tempat ini diikuti oleh tentara jirah emasnya mengikuti.

Sampailah saat itu masuk ke bagian para bangsawan atau karabat dekat An Yanyan saling memberikan hadiah sebagai penghormatan ataupun pamer kekayaan mereka. Ada yang memberikan ratusan kuda, uang, pedang, dan cindramata lainnya yang terlihat sangat mahal diikuti dengan doa mereka untuk kejayaan pada keluarga An.

Sampai akhirnya karabat dekat ibu, yang kebanyakan adalah orang-orang suku dan penyihir yang sudah diakui oleh kerajaan keberadaan mereka dan hingga akhirnya liga penyihir mengisi ruangan tengah, salah satu dari mereka yang berbaju hitam saling memberikan hadiah dengan sihir-sihir mereka, berkah, dan sebagainya. Sesungguhnya budaya bar-bar ini tidak di senangi kaum bangsawan, tapi mata An Yanyan sungguh berbinar-binar melihat ini semua.

"Roh cinta, keberkahan, dan hidup berkahilah mereka, jauhilah mereka dari bencaa yang melanda, lindungilah mereka seperti sebuah angin yang menyertai kami dimanapun kami berada"

Salah satu dari mereka sambil mengucapkan hal itu mengeluarkan burung-burung bersinar dari tangan mereka. Burung tersebut terbang indah ke atas bertaburkan cahaya, pasir bersinar yang turun bagai debu, lalu menghilang mengenai kedua pasangan pengantin. Indahnya ketika burung tersebut meledak di atas seperti kembang api, dan gemerlap cahaya mengelilingi An Yanyan dan ibu.

Banyak penyihir yang melakukan atraksinya, entah apakah memang benar sihir tersebut ataupun roh-roh alam akan melindunginya, akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini benar-benar menarik untuk di saksikan dan para pengunjungpun terlihat terkagum-kagum oleh berbagai paduan cahaya yang kelaur dari sihir tersebut.

Tiba saat itu, penyihir dengan pakaian gelap, sungguh esentrik dibandingkan penyihir lainnya. Air muka ibu seketika berubah, seperti tidak senang dengan kemunculan wujud ini. Aku mengenalnya, dia saudara ibu, Nisha, yang merupakan salah satu calon terkuat penyihir dan kini merupakan ketua dari akademi sihir. Dulu aku pernah melawannya sekali, sihirnya mampu membuat matahari menghilang, menjadi gelap purnama yang membutakan. Pasukan-pasukan ilusi bermunculan membuat pasukan pembrontakan yang kupimpin kehilangan kendali atas diri mereka sendiri hingga akhirnya pasukan elite harus bersusah payah membunuhnya secara langsung.

Saat itu Nisha beridiri sendiri, dijauhi penyihir lainnya. Dia membuka tangannya, dan seketika lampu-lampu yang menerangi padam dengan sendirinya. Ketika itu hanya tubuhnya yang bersinar dengan roh api disebelahnya, lalu dia membukakan tangannya dan membacakan mantra.

"Roh kegelapan, roh cahaya, dan roh kesucian. Dalam kegelapan, sembunyikan mereka, sepasang kekasih dan anak-anak mereka dalam bahaya yang menerkam mereka, kacaukan si penerkam dalam kekacauan pandangan hingga ia menerkam dirinya sendiri dalam kekelaman. Dalam cahaya, butakan mereka para penerkam, tunjukilah mereka, keluarga ini kedalam cahayamu menuju tempat yang aman. Dan dalam kesucian, jauhilah mereka dari najis kotor yang bisa menodai mereka kapan saja, dalam hidup, dan mati."

Munculah sebuah kupu-kupu hitam dalam tangannya, pergi menghampiri kedua kekasih dan kita anak-anaknya dan berhinggap di pundak kami.

Kupu-kupu yang berada di pundakku lalu terbakar, dan aku bisa melihat reaksi Nisha yang meniupkan sihir ini pada kami terlihat kaget karenanya. Namun perhatian orang-orang yang tidak tahu menahu soal ini hanya memandang datar apa yang terjadi. Ketika itu juga kupu-kupu tersebut menghilang bagai serpihan pasir, dan sungguh berbeda denganku yang jatuh terbakar menjadi asap. Seketika semua lampu kembali menyala dengan ajaibnya. Semua bertepuk tangan seakan hal ini adalah penutupan dari segala pertunjukan sihir, namun para penyihir menatapku aneh, mereka membuka matanya lebar-lebar seakan dia tidak percaya apa yang baru saja dilihatnya lalu ibu menatapku dengan wajah khawatirnya seakan akan ada nasib buruk yang akan menimpaku.

***

"Anakmu bisa menggunakan sihir bukan?"

"Apa kau gila?"

Selesai upacara, ibu menarikku ke belakang mengetahui rahasia anaknya sudah diketahui teman-teman penyihirnya, namun kekhawatirannya lebih ke arah Nisha yang kini menarik lenganku dengan paksa.

"Semua orang harus tau ini! Mungkin, mungkin ini akan menjadi kesempatan untuk menumbuhkan bibit unggul! Biarkan aku menelitinya, dan kau akan melihat kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya!"

"Nisha, kecilkan suaramu! Aku takkan membiarkan anakku menjadi objek politik ataupun bahan penelitianmu!"

Saat itu aku tahu ketakutan ibu, dan hal ini yang paling kukhawatirkan mengenai sihirku, alasan mengapa aku begitu merahasiakan kemampuan sihirku karena seorang pria yang mampu melakukan sihir merupakan tanda bahwa kemampuan ini dapat diturunkan pada keturunannya, setidaknya itu kepercayaan di kerajaan ini.

Bisa kubayangkan jika dia memang melakukan penelitian terhadapku, betapa mengerikannya? Lalu para mata-mata pasti akan mencium hal ini, dan tentunya akan terbongkar pula hingga terdapat dua pilihan didalamnya, yaitu pilihan pertama untuk merebutku dan memaksaku sebagai penerus mereka sehingga mereka mampu memiliki keturunan lelaki yang unggul. Keturunan lelaki yang mampu menggunakan sihir akan melejitkan kebangsawanan mereka hingga posisi kekaisaran mungkin akan terancam meningingat kerajaan ini sangat memuja pemuliaan keturunan atas kepercayaan bahwa kehebatan seseorang mampu diturunkan, seperti lagenda bahwa kaisar merupakan keturunan dewa, dan kini sihir merupakan kemampuan paling menajubkan yang mampu disaksikan dan akan meluruhlantahkan rumor kaisar sebagai keturunan dewa. Pilihan kedua tentu saja, menyingkirkanku, terutama dari keluarga kekaisaran yang takut atas perebutan kekuatan ini.

“Lushan kau pergi dari sini. Aku akan mengurusi tantemu ini sebelum ocehannya terdengar ke telinga-telinga yang tidak diinginkan”

“...”

Aku segera pergi berlari dari cengkraman wanita tersebut. Ibu kemudian meneruskan pembicaraannya, dan sihir menutup suara mereka seperti ruangan kedap suara. Saat berlari, kusadari bahwa terdapat An Yanyan menguping dengan diam-diam, dan aku tahu bahwa terdapat peristiwa yang tidak ku inginkan akan segera terjadi.

Tapi kupikir juga sedikit kemungkinan dia berhasil melakukan apa-apa, toh dia nanti akan mati juga.

Saat itu aku tahu bahwa diriku masih memegang kendali tentang apa yang akan terjadi, sehingga ku acuhkan An Yanyan yang diam menatapku lewat berlari.

***

Aku berlari hingga sampai pada tempat yang sepi. Tidak terlalu banyak orang hingga bisikan busuk mereka bisa masuk ke dalam telingaku, dan kutemui kursi untuk duduk menghela nafas.

Duduk, kutatapi mereka yang menatapku aneh. Sudah lama aku tidak merasakan ini. Dulu para pembrontak yang kupimpin akan menghabiskan diri dalam perperangan, diskusi strategi, dan berperang lagi. Melakukan pesta seperti sebuah kemunafikan atas kemiskinan yang melanda negeri ini, apalagi kita yang kini memegang kendali atas nasib mereka, bukankah seharusnya kita malu melakukan ini? Kaya, bersenang-senang, pesta-pora sedangkan di luar sana masih terdapat manusia yang mati kelaparan? Jika saja pemimpin mampu tidur tenang walau mengetahui hal tersebut, bisa kubilang bahwa mereka sudah kehilangan akal, dan kerajaan sudah dipenuhi oleh orang-orang yang tidak waras.

“Bukankah kau orang yang berada di atas panggung tadi? itu kah kau Lushan?”

“Tuan putri! Dia berbahaya..”

Suara gadis yang familiar. Seorang penjaga wanita dengan pakaian pelayan mencoba menjauhinya dariku.

“Eh..”

Tiba-tiba aku merasa aneh. Gadis seumuranku dengan mata tertutup, dan gaun yang ia gunakan bukanlah gaun biasa, tapi gaun sutra berukir emas yang hanya dipakai oleh bangsawan tingkat tinggi. Lalu paras, rambut, suara.. Aku tidak akan percaya dengan apa yang kulihat. Ah, bisa saja kukaitkan dengan kedatangan kaisar, tapi sungguh janggal. Biar kuingat-ingat, pertama kali aku bertemu dengannya, umurku mungkin sudah menginjak 30 lebih, dan dia masih begitu muda saat itu. Kini yang kulihat adalah seorang gadis muda seumuran denganku, dan tidak mungkin.. tidak mungkin! Ya, aku berbicara tentang Roxanna!

“Aku sungguh terkagum mendengar seorang seumuranku mampu melakukan hal terse..”

“Siapa engkau wahai tuan putri?”

Aku segera memotong omongannya, dan segera menanyakan namanya untuk mengecek keraguanku. Saat itu keringatku menetes deras, dan penjaganya pasti merasakan keanehan dalam diriku.

“Namaku Rox..”

“Tuan putri! Maaf tuan Lushan, namanya adalah Xin Juan, dan..”

“Roxanna?”

“!!”

Saat itu penjaga kaget mendengar jawabanku, Roxanna adalah nama bangsa bar-bar yang takkan terdengar di penjuru kerajaan dan hal itu sudah cukup menklarifikasi apa yang ada di hadapanku. Tapi di antara penjaga yang makin merasa curiga dan waspada, Roxanna malah mendekatiku, dan hatiku seakan ingin meledak dengan rasa tangis haru. Tak kusangka kita akan bertemu secepat ini.

Dia kini berhadapan denganku, dan tangannya memegang pipiku. Tangannya yang begitu lembut, hangat, ya hangat ini adalah hangat Roxanna yang kuketahui dan terampas oleh takdir yang memisahkan diriku dengannya, dan kini dia kembali dalam hadapanku.

“Kenapa kau terdengar begitu sedih oh Lushan.. Apa kita pernah bertemu? Apa kita pernah berpisah? Mengapa aku merasakan kesepian dalam dirimu.. Bisakah kau maafkan aku jika aku pernah meninggalkanmu, mungkin dahulu kala? Karena aku tak bisa mengingatmu..”

Tentu saja Roxanna, kita bahkan tidak bertemu pada masa ini. Tapi.. ah, aku mengingat ketika kakak merasuki sukmaku lewat matanya, Roxanna, kau sungguh istimewa bukan, cuman kau yang tahu apa telah kulalui, dan hanya kau yang tahu sesungguhnya bahwa diriku bukanlah iblis, bukanlah seorang pembunuh keji seperti apa yang mereka liat.

Tapi sudah 20 tahun berlalu pasca kematiannya, sudah banyak kejadian yang melanda diriku. Apa yang akan dilihatnya dalam mataku? Mengerikan, aku tidak bisa membayangkan. Sebuah panorama mayat yang berjatuhan yang membakar dan membekas dalam pikiranku, dan aku takut tentang apa yang terjadi jika saja Roxanna melihat ini semua.

Aku bukan lagi api suci yang kau lihat dulu, aku hanyalah api redup yang telah membunuh banyak manusia.

“Maaf tuan putri, aku.. harus pergi..”

“Tunggu tuan Lushan, aku memiliki kemampuan untuk tahu siapa engkau. Aku.. tidak ingin melupakan seorang teman yang masih mengingatku, dan kau terdengar begitu sedih..”
Roxanna membuka kain pada matanya dan mencoba menatapku.

Aku ingin berlari, ketakutan, paranoid kembali meneror pikiranku. Tapi entah mengapa kaki ini begitu kaku untuk bergerak, dan aku hanya bisa memalingkan wajahku dari matanya.

“Tuan putri.. kekuatan tersebut..”

Sang penjaga mencoba menarik Roxanna, tapi Roxanna tetap mendekatiku dan memegang wajahku yang mencoba berpaling padanya.

“Tidak apa.. Lushan tatap mataku..”

Ketika itu akhirnya kurelakan untuk dia membaca apa yang ada dalam mataku, mata yang Balthiq sebut sebagai mata seorang yang telah mati. Apa yang akan dilihatnya kupikir? Apa dia akan ingat tentang rasa cintaku padanya, masa-masa indah itu? Apa dia akan melihat api yang pernah ia lihat dulu dalam benakku? Apa kau akan ingat apa saja yang telah terjadi? Aku berharap itu semua yang akan ia lihat dalam diriku.

Tapi Roxanna saat itu terdiam kaku menatap mataku, hanya kulihat ekspresi kengerian dalam matanya, dan dalam refleksinya, aku melihat tumpukan mayat dan diriku di dalamnya, duduk di singsana penuh mayat, tempat mimpiku dulu. Saat itu ekspresi Roxanna berubah menjadi penuh horror dan dia memegang lehernya dengan penuh histeris.

 “Kyaaa!!!”

Ketika sadar Roxanna dan aku sudah terpisah dan dipegangi oleh para penjaga yang sepertinya merupakan prajurit terlatih milik kaisar dalam penyamaran dan kini Roxanna menatapku ngeri dan berteriak begitu kencang sehingga para pengunjung mulai mencari tahu apa yang telah terjadi.

“Roxanna, kumohon tatap mataku lagi.. Yang kau lihat bukanlah diriku yang sesungguhnya!”

“Kepalaku..Kepalaku!! hah..Ahhh!!!

Dengan tatapan histerisnya dia tetap memegang lehernya, dan berteriak semakin kencang. Penjaganya berusaha menenangkannya, sedangkan aku semakin panik sehingga kini aku melangkah mundur. Segala optimismeku hancur berantakan, dan perasaanku kini seperti meluncur kedalam jurang, hatiku begitu sakit hingga begitu susah untuk diriku menatap keadaan Roxanna yang kini begitu menyedihkan.

“Roxa..”

“Iblis.. Kau Iblis!!”

***
*end Roxanna part 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar