Senin, 14 September 2015

SIMFONI CAHAYA BULAN - Chapter 3

Cursed
By Reza Pratama Nugraha

Aku bangun dalam keadaan tidak berjiwa, subuh awal ketika ayam belum berkokok, matahari bahkan belum sedikitpun memperlihatkan dirinya, dan tidak ada satupun manusia yang keluar dari kasurnya, kecuali aku, aku sendiri yang kini bersiap untuk melakukan pekerjaan.

Mataku buram, kuambil lilin dan kunyalakan. Segera ke kamar mandi, dan kulihat wanita tersebut. Kantung mataya semakin besar, rambutnya yang bergelombang cantik sudah tidak seperti dulu, kini usang tidak terawat. Cekung muncul di antara kedua pipinya. Sekali ia tersenyum, rasa ironi muncul dalam hatiku. Siapa dia? Siapa sosok tua di depanku? Kenapa matanya terlihat begitu gelap, kosong, tak bernyawa seperti itu?

Pertanyaan ini selalu menyertaiku setiap harinya, pertanyaan usang yang selalu berkembang, sosok di kaca tersebut akan terlihat semakin buruk dan buruk. Mungkin pada suatu saat aku akan melepas kaca ini, takut sosok ini menjelma menjadi seorang nenek-nenek sebelum umurnya.

Kemudian aku membuka bajuku, membersihkan diriku dengan air sedingin es, harus berhemat kayu bakar di musim dingin ini walau mungkin akan membuatku mati kedinginan ketika suhu sedang jatuh-jatuhnya. Aku segera berhanduk dan menggosok gosok gigi dengan tali untuk membersihkan bekas makanan di gigiku, tapi kemudian sadar, gigiku selalu bersih, makanan yang masuk dan kukunyah tidak seberagam itu untuk mengotori gigiku. Aku hanya makan 2 kali sehari, pagi dan malam, sup dan roti.

Setelah mengganti baju, aku segera ke kamar anakku, Racke. Rambutnya panjang kusam tidak pernah dipotong, dan salah satu poni rambutnya menutupi dahinya. Dia persis seperti anak-anak miskin di pinggir jalan, mukanya kurus, dan tangannya begitu tipis seperti tak ada daging di antaranya.

Kita berbagi kelaparan, sesuatu yang sesungguhnya tidak ingin kubagi dengan anakku. Cukup aku sendiri, pikirku. Tahun-tahun yang lalu kita bisa menyimpan makanan, setidaknya cukup untuk membuat Racke tidak kelaparan. Namun masuklah pada tahun yang susah, musim dingin yang panjang dan kini telah sampai pada klimaksnya, dan aku tak bisa melakukan apa-apa selain bekerja lebih keras hingga keringatku terkuras habis.

Dia kini tertidur pulas ketika kuhukum karena menjatuhkan foto suamiku.

Kasihan, sesungguhnya bukan itu sumber kemarahanku, namun hal yang jauh kaitannya dengan dirinya. Percuma alasan yang ia berikan, kelaparan dan rasa dingin, aku tetap menghukumnya keras. Tambahnya lagi, dia kini mulai berbicara sendiri, malaikat katanya, seperti orang tua yang sudah ingin mendekati ajalnya. Setiap kuketahui dia berbicara sendiri, maka aku akan segera menghukumnya. Cukup dengan tanduknya, aku tak akan tahan jika dia memiliki kelainan mental.

Mata Racke masih lembab oleh air mata, dia menangis ketika diriku tidak mendengarkan alasannya, tapi sesungguhnya aku tahu bahwa dia mulai terbiasa dengan ketidakadilan. Dia pernah berkata padaku tentang buku-buku yang dibacanya, dan aku terkesima dengan daftar bacaannya, buku-buku penuh ironi dan keputus-asaan. Jika dia menangis, maka dia mempertanyakan keadilan, dimana letaknya keadilan? Katanya dalam tangis tersebut. Uniknya, aku bisa melihat sesuatu pada matanya, dan aku tahu, dia akan terbiasa dengan itu semua, buku-buku itu terus mengubah pandangannya, dan dia bukan anak kecil lagi di umurnya kini.

Aku mencium keningnya, dan dia sedikit mengintip. Ketika mengetahui yang mencium keningnya adalah aku, dia tersenyum, mungkin berpikir bahwa aku telah memaafkannya dan dia kembali melanjutkan tidurnya.

“...”

Senyumnya mirip sekali dengan kau John. Sangat mirip hingga dadaku merasa sakit. Sakit sekali. Aku kemudian menyeka air mata yang telah mengalir di pipiku. Berbeda dengan anakku, aku tak pernah terbiasa dengan situasi ini.

***

“Terlambat lagi, dan hanya segini hasil yang bisa kau berikan?”

Lelaki gendut yang hanya duduk di kursinya membentakku, berkata bahwa aku telat walau kedatanganku jauh dari bangun dirinya yang tepat ketika matahari sudah di atas kepala, tuduhannya sungguh sama sekali tidak berdasarkan apapun, lalu perihal kapas yang kupetik tidak cukup, aku tahu bahwa berapa kapaspun yang kukumpulkan takkan pernah mendapatkan kata cukup baginya. Dia hanya ingin memarahiku seperti pekerja lainnya, semuanya harus mendapatkan perlakuan yang sama. Anak gendut ini membawa cambuk untuk menghukum para budak, namun dalam aturan dia tidak boleh mencambukku, karena diriku sebagai orang bebas.

Colombo dari keluarga Cumbber, dia mungkin masih berumur 15, dan kini mendapati tugasnya sebagai pengawas oleh ayahnya. Berbeda dengan ayahnya, dia tidak memiliki sopan santun, dan kerapkali mencambuk para budak tanpa alasan yang jelas, mungkin demi kesenangan semata yang kulihat dari tawanya yang lepas. Kadang dia ingin mencambukku melihat tampangku tidak berbeda dengan para budak, namun telunjukku dan lidahku lebih hebat dari sebuah pedang, aku bisa mengancamnya untuk hukuman gantung, setidaknya itu gertak sambalku walau mungkin hukuman paling berat hanya berupa denda. Toh, dia hanya anak gemuk yang tolol.

“Jika aku mengetahuinya lagi, nona Lenard, maka aku akan melaporkannya pada ayah. Bahkan rotipun takkan diberikan padamu.”

Aku hanya mengangguk sambil menatap tanah. Ketika dia tidak melihat, maka diriku akan meludah.

Kesal rasanya, namun hanya pekerjaan ini yang menerimaku yang telah dikutuk seluruh desa, pekerjaan setingkat budak dengan upah budak. Satu-satunya keuntungan orang bebas bekerja disini adalah tidak dicambuk, itu saja, tidak lebih. Sejujurnya, tidak ada satupun orang bebas disini, hanya aku sendiri dengan rasa kasihan oleh tetua desa. Entah dia kasihan atau menghukumku, pengaruhnya lebih besar dari itu untuk mempekerjakanku di tempat layak, tapi ucapnya “Hanya keluarga Cumbber yang tidak percaya takhayul”. Ketika aku tidak terima dan membentaknya, orang tua itu berdiri dari kursinya, mengutukku dengan bahasa suku Karya dan menunjukku dengan tongkat berdirinya.

“Jika aku tak berutang budi pada suamimu, anakmu bahkan telah kugorok demi warga desa, kau tahu itu!”

Kasar sekali ucapannya. Aku terkesima bahwa seluruh warga desa di pertemuan itu mengangguk setuju, dan aku mengutuk mereka, mengutuk dalam diam. Setelah hari itu, tak ada satupun warga desa yang kusapa, mereka pun takkan ingin menyapa ataupun menatap padaku. Persetan dengan mereka semua.

“...”

Cukup sudah, matahari mulai terbenam. Aku segera menuju tempat pembayaran, 2 keping perak dan Roti panjang. 2 keping perak tersebut kupakai untuk membeli sayur di pasar, tempat langgananku yang telah menyipkan setidaknya kentang, rempah-rempah, dan sayur hijau untuk sup.

Sampai disana, nenek-nenek tersebut sudah mengkemas pasarnya. Aku tidak melihat sayuran yang biasanya ia sisakan untukku, dan ketika ia menyadari keberadaanku, dia langsung menghela nafasnya.

“Sudah habis, ada yang membayar lebih untuk itu.”

Dia menjawab sinis. Walau langganan, dia tidak pernah sekalipun berucap manis.

“Bukankah aku sudah..”

Belum pula berkata, dia sudah menyela lagi.

“Tunggu, 2 keping perak bukan yang kau bawa? Harga naik, 2 keping perak tersebut bahkan tidak bisa membeli 2 kentang. Di tambah dengan sayur yang kau beli dan pradugaku bahwa kau tak membawa lebih dari itu, aku lebih baik menjualnya pada keluarga lain.”

Mukanya acuh, dia membalikkan badannya dan kembali mengemasi tempatnya. Aku marah saat itu, setelah berlelah-lelah demi 2 keping perak, dimarahi oleh anak kecil, dan kemudian dikhianati oleh nenek tua ini. Tanpa sadar aku telah menarik bajunya, kerahnya kupegang dan kuteriaki dirinya.

“Lalu aku dan anakku makan apa nenek tua bangka sialan!”

Dia kaget, tak sangka bahwa aku bisa membentaknya sekeras itu. Teriakanku membuat ramai seisi pasar, mereka melihatku dan beberapanya berlari untuk melerai. Mereka memegangiku, menjauhkanku untuk tidak memukul nenek tua tersebut.

“Hei, kurang ajar sekali!”

Pria yang memegangiku berucap demikian. Kini aku berpikir mulai berpikir tentang siapa yang sesungguhnya kurang ajar disini.

“Dia telah berjanji untuk menyisakan sayurnya, dan kini dia menjualnya pada orang lain, setelah itu dia merendahkanku!”

Nenek tersebut mendekatiku, lalu menamparku keras. Orang-orang tertawa melihatku mendapatkan perlakuan seperti ini.

“Memang ini salah siapa?”

Aku hanya terbengong menatapnya, semua orang mengangguk.

“Salah siapa musim dingin panjang ini hingga sayur-sayur makin susah untuk tumbuh?”

Aku masih tidak mengerti, dia menunjuk diriku.

“Anak iblismu itu, si setengah beastman sialan itu. Kau pasti telah bercumbu dengan beastman. Anak tersebut pasti telah membawa kutukan tuhan bersamanya!”

Sialan..

“Kalau aku jadi kau, dalam tidurnya akan kudekap dia dengan bantal. Lalu dalam nafas akhirnya, aku akan tertawa bahwa semua kutukan ini sudah sirna.”

Sialan, sialan, sialan! Aku mengamuk sejadi-jadinya hingga pria yang memegangiku tidak tahan, melepas lengan-lengan kurusku. Kupukul nenek tua tersebut, kujambak rambutnya, dan kuludahi dia.

Kali ini bukan hanya satu laki-laki, semuanya memegangiku. Di antara mereka, ketua pasar menjauhiku dari nenek tersebut. Aslan dari marga Arwes, muda dengan tubuhnya tegap dan dianggap beribawa. Walau ketua pasar, dia bukan berasal dari desa ini, baru 4 tahun yang lalu dia kesini sebagai suku Hamhud, suku yang berkuasa di lautan dan dengan kemampuannya, dia sudah dipercaya oleh seluruh warga desa. Dia menyuruh warga desa untuk menjauhiku, takut bahwa mereka akan memukuliku untuk membalaskan dendam nenek tersebut.

“Aku akan mengadukanmu pada tetua desa nona Lenard karena berbuat kasar pada nenek yang tidak berdaya. Kali ini pulanglah, dan bawa ini.”

Dia memberikanku sayuran, rempah-rempah, kentang, dan sayuran hijau. Di antarnya terdapat ikan, hasil dari jualannya disini.

“Tidak usah dibayar, aku tahu perasaanmu, anakmu lapar bukan? Aku juga punya anak dirumah, mungkin seumuran dengan anakmu. Kupikir semuanya menginginkan keadilan, satu kata kasar tidak bisa membenarkan tindakan kasarmu pada nenek tersebut. Lagipula, nenek tersebut baru saja ditinggal pergi cucunya ke surga, aku ingin kau mewajari sikapnya yang kasar hari ini..”

Semua menginginkan keadilan, maka mana keadilan untukku! Aku berteriak dalam hati, seperti Racke yang tetap kuhukum walau dengan berbagai alasannya untuk tidak dihukum. Air mata sedikit keluar dari mataku, dan segera kuseka dengan tanganku. Aku mengambilnya, tidak mencoba menjaga harga diriku untuk membawanya cuma-cuma, aku memang memang membutuhkannya, dan jika saja tidak, maka roti tak akan bisa disantap, dan kami takkan bisa selamat dari malam yang dingin ini.

Aku berjalan diantara mereka yang membuka jalan, di antara mereka menatapku tajam, meludah ke bawah kakiku. Aku tidak peduli, dan kutudungkan kepalaku dengan jaket dinginku. Semoga besok tetua tidak akan menghukumku dengan denda, aku tak akan mampu membayarnya.

***

Sampai di depan rumah banyak anak-anak yang ramai berkumpul, mereka seperti melupakan bola mereka dan mengkerumuni gadis yang menangis keras tanpa henti. Ketika itu mereka bertanya bagaimana wujudnya, wujud bocah iblis tersebut.

Jantungku berdegup kencang, kucek jendela tertutup rapat dengan gorden yang juga tertutup. Pintu kukunci, dan kunci cadangan kubawa untuk benar-benar mencegah Racke keluar. Tapi gadis tersebut berucap dengan suara yang lirih, tanpa sengaja aku menjatuhkan bungkus yang berisi sayuran dan ikan-ikan, membuatnya jatuh di antara salju.

“Mata iblisnya yang hitam kusam, kurus, dan..dan.. tanduk, dia memilik tanduk!! Monster!!”

Anak-anak kemudian ramai, berkata bahwa rumor anak setan memang ada di rumah yang terlihat tidak terawat berikut. Ketika mengetahui si pemilik rumah ada di dekat mereka, semuanya berlari, katanya aku akan membunuh mereka semua yang tahu akan rahasia ini.

Aku bisa saja melakukan itu, berteriak mengejar mereka sambil membawa batu, satu-satu kubunuh, dan kukubur setelahnya.

Tapi aku hanya mengambil barang-barang yang terjatuh, sayur, kentang dan ikan-ikan. Lalu aku masuk ke halaman, dan membuka kunci. Racke pasti kelaparan di dalam sana.

Dia pasti sangat kelaparan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar