Senin, 14 September 2015

SIMFONI CAHAYA BULAN - Chapter 1

Chapter 1 : Hungry and Cold
By Reza Pratama Nugraha

Aku duduk di depan perapian, menunggu ibu yang tak kunjung pulang sambil menahan perutku yang lapar. Lembar demi lembar kubuka membaca buku ‘penahan lapar’ yang ibu beri berjudul ‘Tanpa Batas’. Tidak bisa di makan, tapi cukup membuatku lupa jika perutku terus bergetar dan berbunyi tanpa henti. Di dalamnya si penulis berkata bahwa dunia ini begitu luas. Terdapat banyak benua, samudra, pulau-pulau, bangsa-bangsa, pokoknya luas dan beragam sekali. Kupikir-pikir, paling jauh aku melangkah paling hanya sampai depan taman rumah, duniaku sempit sekali.

Ku tutup mataku, membayangkan penjalajahan sang penulis ke dunia Beastman, padang hijau luas dengan angin yang berhembus nikmat di pipiku. Saat itu musim semi, dandelion berterbangan melewatiku. Tanpa sadar aku sudah berada di taman bunga, indah sekali, di temani warna ungu, merah, biru. Di ujung sana terdapat ibu, ia menungguku mengenakan topi lebarnya untuk menutupi sinar matahari yang terik, bersinar terangnya membuat warna-warna menjadi lebih cemerlang.

Tiba-tiba aku merasakannya, apa yang penulis sebut sebagai angin laut dari utara. Aku berada di atas laut, ketika mahluk-mahluk laut, putri duyung, monster, melewati kapal kami membuat petualangan luar biasa. Lalu..lalu...!

“...”

Tiba-tiba cahaya yang menyinari bukuku redup, dan rasa hangat perapian mulai hilang saat itu. Sebal, aku ingin cepat-cepat melanjutkan perjalananku di dunia fiksi tersebut. Aku segera pergi mengambil kayu di tempatnya sebelah perapian, menyadari bahwa persediaan kayu bakar telah habis.

“...”

Ruangan semakin dingin, aku segera mengambil selimut di kamar ibu. Kubuka pintu tersebut dan langsung berhadapan dengan kasur ibu yang kelabu, kasur besar untuk berdua, untuk ayah dan ibu. Sayangnya, selama yang kuingat di kasur tersebut hanya ibu yang selalu sendiri dan dia begitu keras kepala soal ini. Pernah sesekali aku meminta tidur bersamanya, karena kasihan padanya, tapi alasanku kepadanya tentu saja karena aku takut tidur sendiri. Dia menolaknya, membawaku ke kasurku dan menunggu sambil membacakan buku, hingga akhirnya aku tertidur, tidak paham tentang apa yang sesungguhnya kuinginkan.

Ketika ku berjalan, aku tersandung oleh buku-buku yang bertumpukan. Kisah-kisah sastra, sejarah, dan sebagainya. Kebanyakan telah dibacakan oleh ibu walau aku tidak meminta, dia sangat menyukai buku. Sekarang buku tersebut diikat, beberapanya telah dibungkus oleh karung. Ibu berpikir untuk menjualnya agar kita bisa melanjutkan hidup di musim dingin ini, dan jika saja tidak ada yang ingin membayarnya, ibu berpikir menggunakannya untuk perapian.

Perihal jual menjual, aku tahu bahwa ibu tidak pernah ingin menjual bukunya, buku tersebut seperti jiwanya sendiri. Aku memberinya saran, namun pantatku ditamparinya. Saat itu aku berkata tentang menjual kasur besar yang kupikir terlalu besar untuknya dan membeli kasur yang lebih kecil. Dia marah, marah sekali. Dia bahkan tidak menjelaskan alasan mengapa dia sangat marah saat itu.

Selimut terlipat di ujung kasur, kubuka, dan kedua ujung selimut kuikat dan kukalungkan di leherku. Seperti seorang ksatria aku membayangkannya, dengan jubah kebesaran, kebesaran dalam maksud harafiah. Jubah kebesaran tersebut kutarik sedemikian mungkin agar benar-benar membuatku hangat, dan terhindar dari angin dingin.

“...”

Salju berhembus begitu kencang, suara atap bergemuruh menandakan hal tersebut. Aku tahu, selimut ini tidak dapat melindungiku lama dari rasa dingin ini. Aku berencana mengambil ranting-ranting kayu di luar, atau mungkin sisa kayu bakar yang belum ditaruh ibu. Dinginnya tentu saja luar biasa di luar sana, bahkan jika ada angin seperti tadi, aku akan terhempas ke tumpukan salju dan terbenam di dalamnya. Kumantapkan selimut ini, setidaknya membuatnya cukup waktu untuk membawa kayu itu masuk ke dalam.

“...”

Lalu aku akhirnya siap, plus sekop di tanganku jika saja kayu tersebut terkubur. Aku segera membuka pintu, dan kusadari bahwa semua ini sia-sia. Ibu ternyata mengunci pintunya, seperti yang biasa ia lakukan, tanpa prasangka bahwa akan terdapat kejadian segenting ini.

Ah, aku ingat kunci cadangan di dekat foto ayah! Dia selalu menaruhnya disana.

"...”

Aku mendekati lemari, menyadari bahwa foto ayah berada tinggi di atas kepalaku. Aku bisa saja meraba-raba dari sini, namun takut ada barang jatuh dan membuat ibu murka. Mengetahui hal tersebut, aku berpikir untuk segera ke meja makan dan menarik kursi untuk bisa menggapai tempat tersebut.

“...”

Di meja makan begitu gelap, ibu sama sekali tidak menyiapkan lilin untuk dinyalakan, namun hidup di tempat yang selalu redup ini membuatku terbiasa dengan kegelapan. Meja makan berdekatan dengan tempat masak, namun yang ada disini adalah sarang laba-laba yang mengisi tungku masak, kursi, meja, dan lemari-lemari penyimpanan makanan.

Sejujurnya, kita tidak pernah menggunakan ruang makan, kita lebih sering makan bersama di depan perapian, yang kata ibu merupakan hal yang sering ia lakukan di kampung halamannya. Soal lemari tersebut kuingat memang tidak pernah digunakan. Ibu selalu memasak 1 jenis makanan, sup dengan isi yang tidak pernah sama, atau yang lebih tepat ‘seadanya’, dan sepotong roti. Aku baru mengetahui di bukuku bahwa makanan yang bervariasi sangatlah penting untuk pertumbuhan dan kesehatan anak, namun kupikir ibu tidak pernah berpikir demikian ketika uang yang diperolehnya tidak seberapa, bahkan sepotong roti yang tidak utuh sudah cukup memuaskan bagi diri kita berdua.

Kutarik kursi, dan ketika tergeser, debu juga terseret bersamanya. Mungkin ketika musim semi tiba, aku akan menyarankan kepadanya untuk meminta cuti dan kita akan bersih-bersih bersama karena parahnya debu di rumah ini.

Omong-omong, Ibu tidak suka bersih-bersih seperti ibu tetangga yang kulihat di jendela selalu menyapu halaman mereka ketika matahari terbit ditemani bunyi ayam berkokok, melakukannya lagi ketika matahari terbenam. Saat kubangun, ibu sudah tidak ada, hanya ada sepotong roti dan semangkuk sop hangat. Ia pulang ketika matahari terbenam, kadang larut, dan aku selalu menunggunya untuk makan malam bersamanya.

Bagaimana mungkin ia peduli tentang rumah ketika ia tak pernah sekalipun menikmati isi rumah ini? Menikmati kayu oak yang menyusun rumah ini dengan kokoh dan dengan ulir-ulir yang menurutku menarik, bau-bau khas dari perapian, dan empuknya sofa di depan perapian, dia pasti tidak pernah menyadari soal itu semua. Kita hanya makan bersama, lalu dia mengajariku apapun yang pernah ia pelajari, membacakanku buku, dan menyuruhku tidur. Sedikit sekali momen dimana dia duduk dirumah ini sambil membaca buku ataupun sekedar beristirahat di sofa depan perapian, bahkan di hari libur dia bekerja, dan terus bekerja, walau pekerjaannya tidak pernah lebih dari memberinya roti dan bahan-bahan untuk membuat sup untuk mencelupkan roti tersebut agar lebih mudah ditelan.

“...”

Akhirnya sampai pada lemari, dan kunaiki kursi dimana terdapat foto ayah yang tersenyum bersama ibu. Kata ibu, senyumku mirip dengannya, dan dia berkata sambil menahan tangisnya bahwa dia membenci hal tersebut. Sayang, karena cahaya yang begitu remang-remang, membuatku tidak bisa melihat secara mendetail foto ayah, sekaligus letak foto ini yang begitu tinggi di atas lemari membuatku tidak pernah memiliki kesempatan untuk membuktikan hal tersebut ketika melewatinya.

Mungkin siang hari nanti dengan menaiki kursi ini, toh ibu tidak pernah ada di rumah bukan?

“...”

Kuncinya tidak ada. Kucoba naikan foto ayah, dan buku-buku ibu yang bertumpuk, kunci tersebut tetap tidak kutemukan. Apakah ibu memindahkannya? Tapi dimana! Ketika itu asap dingin keluar dari mulutku setiapku bernafas, da badanku mulai menggigil. Disini dingin sekali, aku mulai tidak tahan, dan tentu saja, aku panik.

“...”

“Kenapa kau diam saja sih! Bantu aku cari kuncinya.”

Malaikat bisu hanya menatapku bingung dengan matanya yang biru seperti langit. Mukanya seperti boneka porselin, putih, polos. Bibirnya merah, tidak terlihat gemetarnya oleh dingin yang menusuk tulang-tulangku. Rambutnya pirang berombaknya selalu bersih walau tidak pernah kulihat ia mandi, dia selalu bersih seperti demikian. Sayap-sayapnya rontok, dan selama tinggal disini, sayap tersebut tidak pernah sekalipun tumbuh. Dia menggelengkan kepala sambil memberi isyarat bahwa dia tidak tahu menahu tentang keberadaan kunci tersebut.

“Racke.. Kau bicara dengan siapa?”

Saat itu kusadar bahwa ibu sudah berada di depan pintu dengan jaket bertudung musim dinginnya sambil membawa kayu dan keranjang berisi roti dan sayuran. Dia menyadari bahwa aku berada di atas kursi dan ekspresinya berubah perlahan dari bingung menjadi marah. Karena kaget, tanpa sengaja aku menjatuhkan buku dan foto ayah.

Suara jatuhnya diiringi bunyi pecah, mati sudah..


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar