Senin, 14 September 2015

SIMFONI CAHAYA BULAN - Chapter 4

A Lesson
By Reza Pratama Nugraha

Aku menghela nafas ketika pertikaian sudah selesai. Tentang bocah setengah beastman yang mereka bicarakan, dan bagaimana reaksi ibu tersebut mendengar caci maki mereka merupakan suatu hal yang kupikir wajar, tidak ada orang tua yang rela anaknya dikatai demikian. Aku sendiri mungkin sudah mengamuk jika satu dari kedua anakku diberi perlakuan seperti tadi, namun layaknya suatu normalitas, semua hanya mentertawakan seakan ibu tersebut layak mendapatkan perlakuan kurang ajar yang mereka lakukan.


“Dosa, dia pasti telah melakukan dosa besar.” Ucap salah satu dari mereka kepadaku ketika diriku bertanya padanya tentang perlakuan kasar mereka.

“Jika saja tidak ada pengaruh dari nama besar suaminya disini, dia pasti sudah kita usir, dan anaknya kami bunuh.” Beberapa lebih sadis lagi mengucapkan isi pikirannya.

Tak habis pikir diriku dengan perbedaan yang budaya luar biasa. Disini warga desanya sangat kikuk, percaya sekali dengan takhayul. Satu kata saja terucap dari suatu praduga, lalu dia ucapkan sepuluh kali maka hal tersebut akan dianggap kenyataan, bagai sepuluh orang saja yang telah menyaksikannya. Ketika mereka berkata bahwa musibah muncul secara berkala semenjak kelahiran bocah bertanduk tersebut, semua heboh membicarakannya, dan menganggap hal tersebut kenyataan bahwa sang anak adalah penyebab dari itu semua.

Aku adalah pelaut, aku kenal dengan alur udara. Jika saja suhu air berubah, begitu juga berdampak pada suhu, pasti telah terjadi perubahan pada uap air yang menyebabkan awan dan alur angin. Saat itu aku tahu tentang apakah musim semi akan lebih cepat datang, apakah musim panas akan lebih lama, dan apakah musim dingin akan mencapai klimaksnya. Nenek moyang dari suku kami mempelajarinya lama, dan terdapat siklus ataupun pola yang selalu berjalan setiap beberapa tahun yang kami catat dengan baik. Aku berbicara pada mereka tentang normalitas ini mengenai musim semi yang datang terlambat, tapi warga desa hanya menyalahkan dan mengutuk bocah bertanduk tersebut, yang kuketahui, hanyalah anak manusia biasa dengan ketidakberuntungan bahwa terdapat tanduk yang menempel pada kepalanya.

Kini ibunya setiap hari hanya menyantap roti dan sup dari apa yang telah kudengar, dan aku tahu bahwa mereka dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Si ibu telah kurus, hingga aku percaya bahwa hal tersebut membuat matanya lebih menonjol, dan lesung pipi tersebut persis dengan para budak, bahwa dia tidak mendapatkan makan yang cukup. Jika dilihat baik-baik, ibu ini sebenarnya masih sangat muda, dan dari beberapa keterangan warga desa, dia adalah pendatang dengan kecantikan yang sangat memukau sampai akhirnya sang anak lahir dan sang suaminya yang merupakan ksatria menghilang pasca tugas dari kerajaan.  

Dia kini bekerja dengan beban yang lebih berat dari kami yang berjuang di lautan, mengambil puluhan ribu kapas-kapas di kebun yang sangat luas dan memindahkan beban-beban kotak kayu dengan hanya upah roti dan 2 keping perak. Mereka semua tertawa, berharap bocah dan ibunya mati kelaparan ataupun kekurangan gizi.

Kadang aku bertanya, dimana moralitas warga desa ini? Apakah takhayul lebih penting dari rasa empati mereka? Ketika coba kutanyakan, jawabannya selalu sama :

“Kamu tahu apa? Toh kamu cuma pendatang.” Ucap mereka padaku.

Kini dia telah melewati batasnya, memukul seorang nenek yang telah mendustakan dirinya, memakinya, menamparnya, dan menyumpahi anaknya mati. Dia melewati batas dengan berbuat kasar pada nenek tersebut, nenek yang tidak berdaya yang sedang terlibat konflik batin, menyalahkan kematian cucunya yang sesungguhnya diakibatkan wabah epidemik penyakit flu dengan bocah bertanduk tersebut, mengatakan bahwa cucunya sempat berlari melewati rumah mereka dan kini terkena kutukan. Kini aku harus melaporkan pada tetua desa. Saat kuucapkannya perihal ini, dia terlihat sangat marah, dan menyuruh untuk melakukan pengadilan masyarakat, yang dipimpin tak lebih dari dirinya sendiri, si pemegang hukum sekaligus hakim.

Jika saja ada kesempatan, mungkin aku akan mendukung ibu tersebut. Entah, aku adalah manusia yang mengikuti isi hatiku walau hal ini akan membuat kedudukan dan kepercayaan masyarakat kepadaku berkurang.

***

Setelah lelah dari pekerjaan, kini terdapat suara keras di dalam rumah, suara bocah-bocah yang berdiskusi tentang sesuatu. Aku mengintip, ada Clara dengan pipinya yang tembem, matanya yang biru kini berbinar-binar akan sesuatu, dan dengan pita merah yang terikat lucu pada rambutnya. Hammond duduk, dia menatap bosan sambil menggarukan kepalanya mendengar penjelasan adiknya. Hammond sepertinya baru saja mandi, rambut lurus coklatnya yang mirip sekali dengan ibunya kini terlihat basah dan ia sisir rapih menyamping. Dia persis seperti adiknya, hidung mancung dan matanya yang agak sipit, hanya saja ia kurus dan tinggi seperti laki-laki yang dewasanya akan gagah, dia mendapatkan sosok tersebut tentu dari ayahnya.

“Ya aku melihatnya! Mengerikan sekali!”  Clara menyaksikan sesuatu, dia heboh dengan apa yang dilihatnya hingga ia juntaikan tangannya kelangit-langit.

“Tidak mungkin, jika ada yang demikian pasti sudah diurus seisi desa.” Hammond kakaknya mengibaskan kedua tangannya, berkata bahwa Clara berbohong.

Mereka berdiskusi di depan pintu saat itu, dan ketika aku berhenti mengintip dan masuk, mereka tidak sadar ayahnya telah pulang dan berada di hadapannya. Ketika itu aku mendehemkan suaraku agar mereka sadar. Clara melihatku, matanya berbinar walau aku bisa melihat bahwa matanya lembab tanda dia baru saja menangis. Mungkin dia telah melihat sesuatu yang mengerikan, dan kini menyadari bahwa sesuatu yang mengerikan tersebut telah menjadi kisah petualangan yang menajubkan.

“Ayah aku melihat monster!” Dia mengucapkannya polos, kakaknya menggelengkan kepalanya.

“Dia bohong, aku tahu itu.”

“Kakak! Aku melihatnya jelas, kurus, matanya hitam kusam yang penuh kekosongan, tanduk di kepalanya, dan.. dia berteriak ketika melihatku! Mengerikan sekali.”

Tunggu, tanduk di kepalanya? Apakah Clara baru saja melihat anak dari ibu Lenard? Tentu saja, aku ingat bahwa mereka sering bermain bola di depan rumah ibu tersebut, pasti anak tersebut kelihatan olehnya.

“Clara, bisa kau ikut ayah sebentar?”

“Ayah percaya padaku bukan!?” Matanya berbinar kembali ketika kakaknya menolak habis-habisan kesaksiannya. Kini sang kakak marah padaku karena percaya oleh omong kosong adiknya yang suka berlebih-lebihan mendeskripsikan apa yang dilihatnya, aku juga menyuruhnya kakaknya ikut denganku.

“Aslan kau sudah pulang?”

Istriku memanggilku, bau harum tercium dari dapur. Kupikir lebih baik kudiskusikan hal ini di meja makan saja sehingga suaraku terdengar oleh istriku. Aku mengajak mereka ke ruang makan, duduk dengan rapih hingga aku bisa menjelaskan pada mereka perihal anak bertanduk tersebut.

“Sudah sayang, kau juga tolong dengarkan ini selagi memasak yah! Aku ingin menjelaskan kepada anak-anak perihal apa yang mereka saksikan.”

“Monster yang Clara ucapkan?”

“Ya.”

Ketika itu aku satukan tanganku, dan menatap mereka serius. Mereka tahu tentang gerak-gerik yang kuciptakan, bahwa apa yang kuucapkan tidak ada kebohongan maupun canda di dalamnya. Saat ini hanya Clara yang terlihat begitu semangat, mungkin pikirnya aku akan menceritakan hal seram perihal apa yang dilihatnya, monster yang mendiami rumah berhantu dan mengutuk orang-orang. Jika saja kuceritakan demikian dia pasti menangis, memintaku menghilangkan kutukan tersebut karena menatap monster tersebut.

“Baiklah. Pertama perihal anak bertanduk di rumah ibu Lenard merupakan hal yang benar. Anak satu-satunya dari keluarga tersebut memiliki tanduk, dan dia di kurung oleh ibunya semenjak dulu agar tidak membuat masalah.”

“Masalah?”

Sepertinya kalimat yang kuucapkan salah. Aku seperti membuat anak tersebut seperti biang keladi dalam banyak hal.

“Maksudnya sang ibu menjauhinya dari masalah. Dia lahir dengan tanduk tersebut, tapi dia anak biasa, seperti kalian. Kalau tidak salah, dia seumuran denganmu Clara.”

Clara kecewa ketika ucapan anak biasa keluar, tapi juga lega bahwa tidak ada yang namanya kutukan yang mengenainya seperti apa yang anak-anak ucapkan mengenainya.

“Tapi coba bayangkan ini, Clara, Hammond, bayangkan jika kalian lahir dengan tanduk di kepala kalian.”

“Seperti beastman?”

“Ya.”

Mereka berdiam diri, mengimajinasikan sosok mereka menjelma menjadi mirip dengan antagonist para manusia di lakon-lakon. Aku pikir sosok beastman seringkali menjadi sosok yang dibuatkan boneka-bonekaan dalam festival, lalu mereka pukul dengan batang kayu hingga hancur, dan mereka bakar. Festival yang selalu dilakukan di seluruh kerajaan besarAvalar ini, sebagai peringatan kebencian mereka terhadap kaum beastman. Lalu Hammond merasakan merinding, dia begitu niat membayangkannya. Clara terbingung-bingung, dalam pandangannya seakan terucap jika dia tidak melakukan kesalahan, dan tanduk tersebut tidak mengakibatkan apa-apa kecuali ia menyerudukannya pada seseorang, lalu apa yang salah?

“Aku tidak mengerti ayah?” Polos Clara mengucapkannya.

“Mengerikan ayah. Warga desa pasti sangat membenciku.” Ucap Hammond.

“Betul kau Hammond. Sejarah kita dengan beastman membuat keadaan anak itu benar-benar sengsara. Hal itu juga berakibat pada ibunya, kini dia bekerja bersama para budak dan hanya makan roti panjang dan sup setiap harinya. Bayangkan dengan kita yang mampu makan ikan, jika bosan bisa ganti dengan daging domba atau semacamnya. Kau Clara, sering menyisakan makanan bukan?”

Clara mengangguk, tapi dia pikir jika memang kenyang bukankah lebih baik tidak dipaksakan? Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaannya yang polos.

“Satu roti panjang, untuk malam dan pagi, mereka hanya makan dua hari sekali, itupun harus dibagi berdua. Mereka tidak pernah kenyang untuk bisa menghemat dan hidup. Katamu dia kurus bukan Clara?”

Clara mengangguk. Dia bilang jika dibandingkan pipinya yang tembem, maka pipi anak bertanduk tersebut cekung seperti menempel pada tulang.

“Aku pikir jika ibu memberimu makan seperti itu setiap hari, kau akan lebih kurusan.”

“Aku tidak mau..” Clara terlihat enggan, dia bangga akan pipinya yang suka dicubiti jika ada keluarga yang berkunjung.

Tiba-tiba istriku datang membawakan makanan. Sup ikan kesukaan Clara, perkedel jagung kesukaan Hammond, dan bir hangat kesukaanku. Dia tersenyum dan duduk disebelahku. Aku pikir dia akan seperti warga desa karena sering bergosip dengan mereka, namun istriku ini hanya tersenyum menatapku, seperti setuju seratus persen akan tujuanku memberitahu anak-anak kami ini.

“Maria, mengapa kau diam saja?”

“Aku tahu sayang, dan  kau tahu bahwa aku akan selalu setuju denganmu.”

Dia tersenyum dengan cantiknya menatapku, rasanya ingin kucium mesra bibirnya jika tidak ada anak-anak di sampingku. Lalu aku berusaha melanjutkan penjelasanku lagi, dan kulihat Clara sudah menyantap sup ikannya selagi Hammond tidak merasa enak.

“Jadi Clara, kumohon kau cabut pernyataanmu soal anak tersebut, perihal dirinya sebagai monster. Anggap kau hanya salah melihatnya sebagai ilusi karena kecapaian bermain bola.”

Clara menghentikan suapannya, dia terlihat marah padaku. Matanya berair, dia ingin berkata bahwa dia tidak berbohong, namun ia telan dulu makanan di mulutnya dan meminum air agar tidak serak.

“Aku tidak berbohong ayah! Aku mel..”

“Clara ayolah! Apa kau tidak mendengar cerita ayah!” Hammond terlihat marah, dia menghentak meja. Maria menyuruh Hammond tenang, namun tidak memarahinya karena kita tahu bahwa sikap Hammond disini adalah sikap yang benar.

“Kumohon yah Clara? Nanti ayah hadiahi sesuatu.”

Clara menganggukan kepalanya, walau terlihat bahwa dia masih bersikukuh perihal pendapatnya. Sang kakak masih enggan makan, dan aku tahu apa yang mengganjal dalam hatinya. Dia mirip sekali denganku, dan aku menyukai sikap tersebut dalam dirinya.

“Ayah berpikir untuk berkunjung ke rumah keluarga Lenard sambil membawa suplai makanan, yah untuk membentuk hubungan yang baik antar tetangga sambil menyumbang kepada yang membutuhkan.”

“Betulkah ayah, bolehkah aku ikut?”

Hammond tersenyum penuh semangat, sedangkan Clara takut, takut dirinya di ajak dan bertemu bocah yang ia anggap sebagai monster.

“Kau juga ikut Clara.”

“Iya...”

Aku merencanakan untuk anak-anak berkunjung kerumah keluarga Lenard setelah pengadilan masyarakat. Ketika itu aku tahu nasib buruk akan menimpa mereka, keluarga Lenard, dan kesempatan untuk membantu di pengadilan sungguh sedikit dilihat dari banyaknya kebencian yang timbul disini. Kuharap mereka bisa menerimanya dengan baik, dan kuharap juga prediksiku salah tentang nasib buruk tersebut. Kemarahan kepala desa terasa tidak wajar saat itu, dan aku mencium sesuatu yang salah di desa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar